October 24, 2010

Dilema dibawah senja (Flashfiction1)


[cahaya sudah jingga... aku masih terduduk di pasir menatap cakrawala..., sunyi buih ombak tak lelah berbisik... sesunyi langit yang tak berbintang... segelap petang yang menantikan hujan]

“Luh De...”
suara yang terdengar berat dan maskulin itu memecahkan keheninganku,
hatiku terkesiap dan hatiku pulalah yang menatapnya seketika,
tapi ragaku masih tak bergeming, mataku tak melepaskan cahaya yang kian jingga di ujung sana.

masih berpikir.... benarkah nama itu yang disebut... benarkah itu aku yang dimaksud?

“Luh...”
ya.. aku semakin yakin... itu aku... dia memanggilku...
aku tetap hening menatap cakrawala, keindahannya menyita panca indera yang merindukan cahaya

“Luh..., maafkan aku... “
Kata-kata itu getir di telinga... air mata leleh tanpa tau maksudnya...

“Luh... hari mulai gelap... kita kembali ke Desa!

Bibirku masih terkunci, bahkan ragaku sudah terpatri, tak ingin aku bergerak lagi... berharap jadi bagian dari bumi... aku merasa tak hidup lagi... tapi kenapa air mata tak henti dan tetap tenang membanjiri.

“Luh... hentikan sedihmu... ini kehendak Sang Hyang Widhi... betapa indah bila kita tetap mengikuti... bahkan kehendak kita takkan lebih indah dari kehendakNya... Dia menginginkan kita Luh... menginginkan kita memahami arti rasa dan mendalamkan pemahaman kita akan keinginan jiwa... tidak semua yang kita inginkan menjadi indah bila terpenuhi... hadapilah kenyataan... Marilah kita pulang dulu, hujan akan turun...”

haruskah aku bahagia atau sedih? bahkan sekarang hati mulai tawar... air mata berhenti perlahan... jiwaku yang melayang mulai mendarat di badan...

Aku mengalah.... kutatap wajahnya yang diterangi cahaya malam.... dia begitu dalam, matanya penuh pengharapan, garis wajahnya kuat, pesona yang terselubungi bingkai... hanya akukah yang mampu menyadari?

Pada akhirnya bibirku mampu mengucap kata... “Bli... hanya dibibir pantai inilah air dan pasir bercengkrama... lihatlah riak-riak buah dari sukacita mereka... begitu indah mengharu... seakan melepas rindu, Bli... aku tak akan pulang ke Desa... aku akan tetap disini menatap cakrawala... dari sana akan datang perahu yang menjemputku.”

[hening]

tak ada satu kalimatpun meluncur dari bibir kami lagi... hanya tatapan yang sama dalam keharuan, dan kilatan tetes air mata yang tertahan. Aku kembali mengalihkan pandangan ke cakrawala... kudengar jejak langkah Bli yang beranjak pergi....

Kuhembuskan nafas dalam-dalam, ada sesak yang harus dilegakan...
Itulah hari saat hati kami telah saling bertukar... pantai akan mempertemukan kami lagi sebagaimana takdir yang tak lelah memisahkan kami. Suksma Bli..


©mahendraswari-29/09/2010

No comments: