December 9, 2012

Karma

Aku menangkap dari sepenggal cerita hidup anak manusia
...
tentang Karma
bahwa diapun tetap menghampiri
saat anak manusia menghindari satu Karma
karena kecemasan atas Karma lainnya
...
sepertinya hanya Hyang Widhi yang memegang kunci pengetahuan benar dan salah
bahkan seorang brahmana atau yogi yang berpengetahuan spiritual tinggipun hampa tentangNya...
...
bagi aku dan dia
Dunia ini seperti ilusi dalam kabut asap
berusaha turuti karma
tapi jadinya kami justru mengelak dari karma
..alasannya adalah karma-karma yang lain
..lalu kamipun dihukum karma
karena kami enggan mencari tahu
memahami tugas-tugas baru
...
kami terlalu takut..
karena daging kami begitu lemah
kami terpaku pada tugas pertama
yang kami sangka itu satu-satunya
...
bagiMU hidup penuh dengan dinamika
bagiMU kami serpihan cahayaMU
...
Hyang Widhi
panahMU selalu tau arahnya
Karma baik maupun buruk
tak sekalipun salah sasaran...
seperti mata Sang Shiva
yang menembus segala batas kelemahan...
kami pasrah dan tunduk dalam kehendakMU
...
Setidaknya
beri aku kemampuan dan ketegaran
melaksanakan perutusanMU
jangan sampai jiwa-jiwa yang KAU percayakan padaku,
kulewatkan begitu saja
karena ketidak mauanku
ataupun kebodohanku...
jaga saja aku tetap setia dijalanMU
dalam melaksanakan Karmaku
belajar memberi kasih sayang dan kebijakan
yang akan memperkaya diriku juga...
jangan ada hati yang merasa tersia-siakan
jangan ada satupun jatuh dalam kebencian
saat mereka mengarahkan hatinya padaku
ijinkan aku membawa kebijaksanaan
tanpa menorehkan luka yang mendalam

apa yang terjadi padaku
tak kan terjadi pada yang lain
bila itu karena aku...

"Out beyond ideas of wrong doing and right doing, there is a field. I'll meet you there"
(RUMI)

December 8, 2012

Lebih

semua hal yang diijinkan Tuhan terjadi dalam hidup ku..
pastilah karena aku mampu melampauinya

ku tak ingin menyebut
apa aku sakit
apa aku kecewa
apa aku lega
apa aku pasrah

karena aku tidak tahu

baru kali ini
aku benar-benar tak tahu apa rasa ini

dan memang lebih baik tak pernah tau

bila ku tahu
ku salahkan diriku
dan kusalahkan mereka

lebih baik begini
tak ada air mata
pun' tak perlu senyuman

mungkin ku hanya perlu tertidur
dan saat bangun nanti
aku sudah jadi seseorang yang lebih

*ku tak lagi menunggu kura-kuraku, Hyang Widhi memindahkannya keluar dari bumiku demi kebahagiaanku


November 8, 2012

Makna Filosofis 'Bija'

oleh : Budi Agung

Mawija atau mabija dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir dan suatu upacara persembahyangan, kita akan dibagikan butiran-butiran beras yang kita tempelkan di kening dan di leher yang disebut bija. Bija atau disebut dengan wija adalah komponen penting yang terdapat pada canang. Suatu hal sesederhana memakai bija pun sesungguhnya memiliki makna yang luas dalam ajaran Veda. Bija pada umumnya adalah beras yang dicuci dengan air bersih lalu direndam dalam air cendana, kemudian diberi pewarna (biasanya menggunaka kunyit - Curcuma Domestica VAL) agar berwarna kuning maka disebutlah bija kuning. 

Dalam perkembangannya, terkadang bija hanya dibuat dengan beras yang dicuci dengan air bersih saja. Pemakaian bija dilakukan setelah menerima tirtha atau amertha pada akhir proses persembahyangan. Pada kenyataanya, setiap umat Hindu di Indonesia mempunyai cara sendiri alam menggunakan bija. Wija atau bija diusahakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata). 

Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakikatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuhkembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka itu mewija dilakukan setelah mathirta. 

Dalam diri manusia terdapat sifat kedewataan dan sifat keraksasaan yang disebut Daiwi-sampat dan Asuri-sampat. Menumbuh-kembangkan benih ke-Siwa-an berarti menumbuhkembangkan sifat kedewataan tersebut agar dapat mengatasi sifat keraksasaan. Kedua sifat itu bersemayam dalam pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan berkembangnya sifat kedewataan atau benih ke-Siwa-an itu dalam pikiran dari hati manusia maka tempat memuja itu yang terpenting di dua tempat, yaitu: pada pikiran dari hati itu sendiri, masing-masing dengan cara menempelkan di tengah-tengah kedua kening dan dengan menelannya. Patut pula diingat bahwa wija di samping sebagai lambang Kumara, juga sebagai sarana persembahan. 

Agaknya perlu juga dikemukakan di sini bahwa wija/bija tidak sama dengan bhasma. Kadangkala antara wija/bija dan bhasma itu pengertiannya rancu. Wija tersebut dari beras sedangkan bhasma terbuat dari serbuk cendana yang sangat halus. Serbuk ini diperoleh dengan menggosok-gosokkan kayu cendana yang dibubuhi air di atas sebuah periuk atau dulang dari tanah liat. Kemudian hasil gosokan (asaban) itu diendapkan. Inilah bahan bhasma. Kata bhasma sendiri secara harfiah berarti abu atau serbuk. 

Kata "bhas" dalam kata bhasma tidak sama dengan kata baas dalam bahasa Bali yang berarti beras. Karena kata Bhasma adalah kata dalam bahasa Sansekerta. Pemakaiannyapun berbeda. Kalau wija umumnya dipakai oleh orang yang masih berstatus walaka, sedangkan bhasma hanya dipakai oleh Sulinggih yang berstatus sebagai anak lingsir. 

Kata wija berdekatan artinya dengan kata Walaka dan Kumara yang berarti biji benih atau putera. Bhasma dalam hal ini adalah lambang Sunya atau Siwa. 

Dengan pemakaian bhasma itu Sulinggih bersangkutan menjadikan dirinya Siwa (Siwa Bhasma), disamping sebagai sarana untuk menyucikan dirinya (Bhasma sesa). 

Pada kenyataanya, setiap umat Hindu di Indonesia mempunyai cara sendiri dalam menggunakan bija. Penempatan bija pada tubuh setiap orang berbeda-beda. Berikut adalah tempat pemakaian bija beserta beragam macam maknanya: 
• Di ubun-ubun: untuk menguatkan atma 
• Di dahi atau sela-sela alis: untuk memuja Siwa (trinetra) 
• Di pangkal tenggorokan: untuk menguatkan kundalini (tujuh cakra di dalam tubuh) 
• Di pangkal leher belakang: untuk menolak bahaya 
• Di daun telinga bawah kiri-kanan: untuk mengendalikan panca indra 
Tidak hanya di kening dan leher, bahkan banyak orang yang juga memakai bija di atas kepala, di bahu, di balik telinga, bahkan tidak jarang ada yang memakainya di kedua pelipis.

Keberadaan bija sangat erat dengan kegiatan beragama Hindu. Bija adalah salah satu bahan yang dipakai di kening ketika seorang Hindu selesai melakukan persembahyangan. Ada bahan-bahan lain yang disebut bhasma, yang terbuat dari pasta cendana. Bahan-bahan ini dipercaya sebagai bahan yang suci sebagai lambang Tuhan. Bija juga disebut tilaka di tempat lain dengan bahan-bahan seperti abu agnihotra dan pasta merah. 

Bija memiliki beberapa makna filosofis yang dikaitkan dengan spiritualisme. 
1. kita lihat dari asal katanya. Bija berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang diadopsi dari kata vija (Sanskrit). Vija dapat dikaitkan dengan kata (pranava) Om sebagai nama utama dari Tuhan. Om juga disebut vijaksara, sebagai aksara Brahman yang tertinggi. Om adalah nama Tuhan yang paling sakral dan memiliki makna yang tidak terbatas. Memakai bija di kening berarti memuja Tuhan dalam wujud Omkara. Hal ini juga berarti konsentrasi pikiran menuju kesempurnaan Tuhan. Orang yang memakai bija (tilaka) diharapkan dapat mewujudan perilaku sattvika, pengasih, dan bijaksana. Demikianlah makna kata bija yaitu sebagai kata lain dari Omkara. 
2. bija memiliki makna anatomis. Dalam Siva Samhita ditemukan sloka-sloka tentang tujuh cakra (simpul syaraf) utama yang membujur di sepanjang tulang belakang. Ketujuh cakra itu memengaruhi fungsi biologis dan fisiologis tubuh. Salah satu cakra adalah cakra Ajna (baca: adnya) yang terletak di kedua alis. Cakra ajna memiliki daun bunga dua yang dalam masing-masing kelopaknya bertuliskan aksara vam dan ksam. Siva Samhita juga menyatakan bahwa cakra ini adalah petemuan tiga pembuluh, yaitu ida, pinggala, dan susumna. Pertemuan ketiganya ini disebut Triveni. Pembuluh ida (pembuluh bulan) yang dingin mengalir dari bagian kanan cakra ajna dan berbelok menuju lubang hidung sebelah kiri, semantara pinggala (pembuluh matahari) yang hangat mengalir dari bagian kiri ajna dan berbelok ke lubang hidung kanan. Ida membawa hawa dingin dan aktif pada malam hari, sedangkan pinggala membawa hawa panas yang aktif pada siang hari. Oleh sebab itu, seseorang yang sehat akan menghembuskan udara yang agak hangat dari lubang hidung kanannya, sementara dari lubang hidung kirinya akan terhembus udara yang agak dingin. Pembuluh ketiga yaitu susumna adalah jalan keluar-masuk roh. Dalam kaitannya dengan pemakaian bija di kening, kita diharapkan mampu mengaktifkan energi dari ketiga pembuluh tersebut untuk menciptakan kesehatan yang baik. Apalagi jika seseorang mampu berkonsentrasi pada ajna, makhluk-makhluk seperti yaksa, gandharva, kinnara, dan apsara akan mematuhi perintahnya (Siva Samhita 113).
3. bija memiliki makna benih. Bija terbuat dari beras yang seharusnya lonjong sempurna, bukan butiran-butiran yang terpecah-pecah seperti yang sering kita temui. Beras yang bentuknya sempurna melambangkan lingga, stana Siva Mahadeva. Selain itu, beras yang bentuknya sempurna juga melambangkan alam semesta yang juga berbentuk bulat. Bija adalah benih padi yang berwarna putih yang bermakna hendaknya kita menumbuhkan benih-benih kesucian dalam kehidupan. Kini banyak kita lihat orang-orang yang memakai bija tetapi tidak mampu menumbuhkan benih-benih kesucian dalam dirinya. Apabila semua orang dapat menumbuhkan kesucian dalam dirinya, semua akan dapat memanen hasilnya yaitu padi keharmonisan. 
4. bija memiliki makna kesungguhan dan kesadaran karena seseorang yang memakai bija berarti orang yang seharusnya memiliki keyakinan dan kesadaran akan kewajibannya untuk mendekatkan diri ke hadapan Tuhan. Orang yang memakai bija akan merasakan bahwa Tuhan berstana dalam dirinya sebagai Paramatman dan merasa terlindungi. Ia juga akan merasakan bahwa Tuhan berada dalam setiap makhluk hidup, termasuk kuman-kuman, bakteri, tumbuhan, dan hewan. Dengan demikian, ia akan belajar untuk menghormati eksistensi makhluk lain sebagai bagian dari kekuasaan Tuhan. 

Adapun tempat pemakaian bija dan makna yang berbeda sebagai berikut:
• Bija yang diletakkan di kening memiliki makna supaya dengan prasadam yang diberikan oleh Tuhan tujuannya untuk menimbulkan benih-benih ide yang cemerlang serta membuat pikiran kita terfokus pada hal-hal yang suci, doa yang di gunakan saat menaruh bija di kening adalah Om Shriyam Bawanthu, yang artinya semoga cerdas atas anugerah Hyang Widhi. 
• Bija yang diletakkan pada dada dimaksudkan agar di dada senantiasa bersemayam kesucian pribadi dan untuk melapangkan hati doa yang di ucapkan pada saat meletakkan bija di dada adalah Om Sukham Bhawanthu, yang artinya semoga mendapatkan kebahagiaan atas anugerah Hyang Widhi. 
• Bija yang ditelan kedalam mulut bermakna bahwa kita menanam benih-benih kesucian dalam diri, selain itu juga untuk memperoleh anugrah kemakmuran, doa yang diucapkan pada saat menelan bija itu adalah Om Purnam Bhawanthu, Om ksama sampurna ya namah swaha, yang artinya semoga mendapat kesempurnaan dan pengampunan dari Hyang Widhi. 

Demikianlah makna filosofis dari bija. Banyak yang tidak menyadari hal-hal kecil seperti ini dan menjadikan agama sendiri sebagai bahan olok-olok yang lainnya sebagai agama tahayul. Padahal sebenarnya peradaban Hindu dan Veda bukan hanya sebuah agama tua yang komplit, melainkan juga sebuah jalan pengetahuan tiada batas.

October 24, 2012

....TYFS

energi-mu cantik dan unik,
seperti ornamen ukiran kayu Jepara
....
tapi kamu-pun tau aku ini batu pahat
lalu kenapa masih pura-pura tak menyadari?
....
milikmu tak'kan indah terukir disini
percayalah...!!

any way..
....Thank You For Sharing your energy to me

don't get stuck on me
your destiny is waiting for you to show up

no need to wait
no need to beg
no need to try

go get running.. your authentic happiness is calling!

Namaste!!

*edisi : menikmati menggurui orang lain tp sulit mendidik diri sendiri.. sebenarnya sambil belajar sih :) biar smakin matang. Astungkare

September 24, 2012

Ingin Kau Pulang

bagaimana kalimatnya..?
tak tau cara mengatakannya

hanya saja,
lebih dari apapun
aku ingin..

cepatlah pulang

kupandang tiap matahari pagi
air mata kadang menghalangi
rabunkah mata ini
hingga ku tak sanggup lagi berdiri

jiwaku getir
batinku gemetar

aku sendiri ditengah badai taufan
hampir goyah dan tak menahan

cepatlah pulang

aku tak beranjak dari tepi dermaga
sejak kau pergi
dan sampai kau pulang nanti


dedicated to my spiritual soul "kura-kura bangliku"..  segeralah kembali ke taman hatiku.. kan kugantungkan lagi di pohon doaku, kuatkanku dalam tiap devosiku.. karyaMU sungguh Agung dalam hidupku.. matur suksma HYANG WIDI

August 31, 2012

Telan Saja

aku ingin menelan perkara ini

kujejalkan bulan ke kerongkonganku
sekalipun sesak buat nafasku
terasa mau pecah dinding perutku

biar hanya Sang Hyang Widhi yang tau
biar saja semesta menghitung

sekalipun ku diam dan menyimpan
sayang sekali.. alam tak berhenti merekam
"...bacakanlah kesaksianmu..."

kebenaran milik siapakah?
milikku tlah hangat diselimut ego

biar kujalani pengadilanku
sampai di titik aku berhenti berteriak
hingga tak lagi aku berontak

suka, duka, lara, pati
inilah api pencucianku
simbol-simbol terikatnya ragaku

biar ku berhenti saja memerangi sakitnya.. tak ada guna
ku hanya perlu pergi menjauh, meneruskan perjalanan

rasa sakit ini bukanlah tujuan, tapi hanya godaan
sakit itu nikmat hingga banyak yang memilih bertahan
sakit memberikan pembenaran tuk membebaskan Kama dan Krodha

Sang Hyang Widhi... jangan pernah melepasku
kembalikan aku dalam damai
redakan aku dalam kesunyian Yoga dan Samadhi




 

August 23, 2012

Emosi tak Bertuan

.....
aku masih menyimak
mengamati keluar
merasakan yang didalam

semakin dekat
semakin jelas

miris.. kecewa.. marah

haaaiiiii
bisakah kalian diam sebentar
kalian yang besar
kalian para tetua dan yang merasa empunya

(aku sedang berkhayal
seandainya mereka semua diam dan dengar
hanya dengar...
cukup mendengar
suaraku yang kecil dan baru datang)

keindahanmu tlah dihancurkan
keluhuranmu disamar-samarkan
sastramu diabaikan

(ingin sekali aku teriakkan)

kaliaaann boddohhhh
kebanyakan tidurkah?
jangan-jangan kebanyakan gosiip
ongkang-ongkang merasa sudah menunaikan perang besar
iddiioott!!!

(aku sangat marah)

Bangguuun!!
lupakan berhitung kelemahan... susunlah kekuatan!!
hentikan pertahanan diri... mulailah berekspansi
merasa diri ditindas?? bbeeehh.. mana ada makhluk yang tak tertindas
masih mau sirik dengan kelihaian orang lain??
mau menyerang, melawan, mencegah..???
huuuh yang ada malah kauterima penghinaan
tak hanya bagimu tapi bagi kaummu

cara siapa yang kautiru???
sudah bercermin?? cara siapa ini??
leluhur??
sangat miris dan malunya mereka pasti..
ini bukan kalian, sihir kebencian telah menguasai
kemana benderamu??? buat alas kaki??

Angkat tinggi-tinggi bendera dan panji-panji
buat barisan dengan saji tulus dan bakti
rendahkan hatimu angkat tinggi harga dirimu
bawa kembali keluhuran, kesantunan

ingat satu hal dan jangan pernah dilupakan lagi
tak ada musuh, tak ada permusuhan

belajarlah menerima kebencian dengan kantong kasih sayang
kemenangan kawan sebagai pemicu semangat ke tujuan
mulailah beryoga
jangan berhenti berjapa
kasih bagi Tuhan
kasih bagi semesta dan isinya

(aku selesai bicara lirih pada deru ombak lautan, sekalipun tak ada yang paham atau mendengar... rahayu)








 

July 16, 2012

Kesadaran Murni

dikutip dari : Ashtavakara Gita atau Ashtavakara Samhita, dialog antara Ashtavakara [seorang yogi yang sudah sadar] dan Janaka [raja Kerajaan Mithila].

JANAKA BERTANYA: "Wahai, Yang Maha Mulia, bagaimana caranya mencapai
kebijaksanaan? Dan bagaimana cara pembebasan terjadi? Dan bagaimana
ketidakterikatan dapat dicapai? Tolong jelaskan kepadaku."

ASHTAVAKRA MENJAWAB: "Wahai Yang Terkasih, jika kau  ingin terbebaskan
dari racun penderitaan yang disebabkan oleh berbagai nafsu, maka
minumlah madu yang  terbuat dari pemaafan, kepolosan, kasih, kepuasan,
serta kebenaran. Kau bukan bumi, bukan udara, bukan api, bukan air,
dan bukan ruang. Untuk mencapai pembebasan, maka sadarilah dirimu
sebagai 'Sang Saksi', yang selalu menyadari segala sesuatu tanpa
terikat olehnya.

"Jika kau dapat memisahkan dirimu dari badan fisik, dan beristirahat
dalam Kesadaran-Murni, maka setiap saat kau akan berada dalam keadaan
bahagia, damai, dan bebas dari berbagai keterikatan.

"Kau  bukanlah dari kasta brahmana atau kasta yang lainnya. Kau tidak
berada dalam empat-keadaan-hidup, yaitu: keadaan jaga, keadaan mimpi,
keadaan tidur tanpa mimpi, dan keadaan Turiya. Kau bukanlah objek dari
mata atau berbagai pancaindera lainnya. Kau tidak terikat dan tanpa
bentuk. Kau adalah Sang Saksi bagi seluruh alam semesta. Sadarilah hal
ini dan berbahagialah.

"Wahai, Yang Berkesadaran Luas, agama dan atheisme, kebahagiaan dan
penderitaan: semua itu berasal dari pikiran. Semua hal itu bukanlah
untukmu. Kau bukanlah subjek atau objek. Sejak semula kau telah berada
dalam keadaan terbebaskan.

"Kau adalah Sang Saksi yang menyaksikan segala sesuatu. Dan pada
hakekatnya kau selalu bebas. Kau menjadi terikat karena kau selalu
melihat bahwa Sang Saksi itu berada di luar dirimu, bukan di dalam
dirimu sendiri.

"Jika kau berkata: 'Aku adalah sang pelaku,' maka berarti kau telah
membiarkan ular hitam ego mematuk dirimu. Dan jika kau berkata: 'Aku
bukanlah sang pelaku,' maka berarti kau telah meminum madu keimanan
serta selalu hidup dalam kebahagiaan.

"Katakan: 'Aku adalah Kesadaran-Murni', maka selanjutnya - setelah kau
membakar hutan ketidaksadaran di dalam dirimu dengan api kepastian ini
- kau pun akan mengatasi penderitaan serta selalu hidup dalam
kebahagiaan.

"Dunia khayal ini diproyeksikan oleh pikiranmu seperti seutas tali
yang disangka sebagai seekor ular. Jika kau menyadari hal ini, maka
kau akan terberkati dengan kebahagiaan, kebahagiaan terakhir, dan
selanjutnya kau akan mengembara dengan gembira. Orang yang menyadari
dirinya bebas, maka dia telah bebas. Orang yang menganggap dirinya
terikat, maka dia selalu hidup dalam keterikatan. Dunia ini seperti
yang diungkapkan oleh sebuah pepatah lama: 'Kau akan menjadi seperti
apa yang kau pikirkan.'

"Jangan katakan: 'Aku adalah individu yang diproyeksikan oleh
kehidupan.' Letakkan ilusi ini, letakkan juga perasaan berada di dalam
dan di luar, dan bangunlah ke dalam pemikiranmu bahwa kau adalah Yang
Tak Berubah, Kesadaran-Murni tanpa dualisme.

"O putra, selama ini kau terikat pada tali kesadaran-tubuh. Potong
tali itu dengan pedang: 'Aku adalah Kesadaran Murni', maka kau akan
berbahagia. Kau tidak lahir, tidak hadir, tidak bergerak, tidak
berubah, tidak hancur, dan tidak musnah. Kau adalah kesatuan dari
segala sesuatu, sendiri, tak bertindak, tidak bersalah, dan selalu
tercerahkan. Bila kau merasa terikat dan diperbudak, maka hal itu
terjadi hanya saat kau mempraktekkan meditasi.

"Alam semesta ini meluas ke segenap penjuru oleh dirimu. Alam semesta
ini terus meluas di dalam dirimu. Pada hakekatnya kau adalah
Kesadaran-Murni. Maka, janganlah kau berpandangan sempit. Kau tidaklah
terikat, tak berubah, tanpa bentuk, tak terpecah dalam pasangan yang
saling bertentangan, tak dapat diduga, bijaksana, dan tak pernah
gelisah. Maka, cukuplah kau hanya beriman kepada Kesadaran-Murni yang
ada di dalam dan di luar dirimu.

"Ketahuilah bahwa setiap yang berbentuk adalah palsu, dan ketahuilah
pula Yang Tanpa Bentuk sebagai Yang Tak Berubah dan Abadi. Mengetahui
kebenaran dari pelajaran ini akan mengakhiri siklus kelahiran kembali
ke dunia ini. Sama halnya seperti bayangan dari sebuah cermin, yang
terbayang di dalam dengan di luar cermin adalah sama,  maka Tuhan yang
sama juga ada di dalam dan di luar badan ini. Begitu pula halnya,
Tuhan Yang Maha Esa meliputi semua yang ada di langit dan juga
meliputi benda-benda di bumi, Brahman yang kekal abadi juga meliputi
segala sesuatu."

JANAKA BERKATA: "Sungguh mengagumkan, ternyata Sang Aku Yang Abadi itu
tak pernah bersalah, selalu damai, selalu sadar, dan melampaui
gejala-gejala alam. Aku telah tertipu oleh ilusi selama ini.

"Sang Aku sendirilah yang menerangi badan ini, apakah Sang Aku juga
yang menerangi alam semesta? Seluruh alam semesta ini adalah milik
Sang Aku atau tidak sama sekali.

"Sungguh mengagumkan, setelah meninggalkan badan ini dan alam semesta,
berdasarkan pengajaranmu yang bijak, sekarang Aku hanya melihat Tuhan.

"Sama seperti ombak, buih, dan gelembung tak lain hanyalah air, maka
seluruh alam semesta ini beserta isinya berasal dari Atma, dan tidak
lain adalah Atma.

"Sama seperti kain, yang setelah diamati dengan seksama, tak lain
hanyalah benang, maka dunia ini tak lain hanyalah Atma

"Sama seperti gula yang diproduksi dari sari tebu, secara keseluruhan
hakikat dari gula juga diliputi oleh sari tebu itu. Maka, alam semesta
ini juga diproduksi dari Sang Aku dan meluas ke segenap penjuru
melalui Sang Aku pula.

"Karena ketidaksadaran, maka dunia yang ilusif ini menjadi terlihat.
Karena kesadaran, maka dunia yang ilusif ini menjadi tidak terlihat.
Karena ketidaksadaran, maka tali akan terlihat sebagai ular. Karena
kesadaran, maka tali tidak akan terlihat sebagai ular.

"Cahaya adalah hakikat dari Sang Aku. Aku bukanlah sesuatu selain
cahaya. Ketika alam semesta menerangi dirinya sendiri, sesungguhnya
Sang Aku yang bersinar menerangi alam semesta itu.

"Sungguh mengagumkan, melalui ketidaktahuan alam semesta khayal ini
nampak kepadaku, sama halnya seperti perak yang terlihat di dalam
sebutir mutiara, atau seekor ular di dalam seutas tali, atau suatu
fatamorgana di dalam sinar matahari.

"Sama halnya seperti sebuah pot yang lenyap ke dalam tanah liat, atau
suatu gelombang yang menghilang ke dalam air, atau suatu gelang ke
dalam emas, alam semesta yang berasal dari Sang Aku adalah muncul dari
Sang Aku dan akan menghilang ke dalam Sang Aku.

"Begitu mengagumkannya Sang Aku, maka aku bersujud menyembah kepada
Sang Aku. Ketika seluruh dunia akan binasa seperti rumput perdu, maka
Sang Aku tak akan binasa. Karena Sang Aku adalah Abadi.

"Begitu mengagumkannya Sang Aku, maka aku bersujud menyembah kepada
Sang Aku. Meskipun Sang Aku berbadan, namun Sang Aku tidak datang dari
mana pun dan tidak pergi meninggalkan apa pun, tetapi tetap tinggal
melingkari dan meliputi alam semesta ini, selalu berada Di Sini dan
Saat Ini.

"Begitu mengagumkannya Sang Aku, maka aku bersujud menyembah kepada
Sang Aku. Tidak ada sesuatu pun di sini yang mampu seperti Sang Aku,
yang telah mendukung alam semesta untuk menjadi abadi tanpa
menyentuhnya melalui perantaraan badan.

"Begitu mengagumkannya Sang Aku, maka aku bersujud menyembah kepada
Sang Aku. Sang Aku bukanlah segalanya atau Sang Aku adalah segalanya.
Sang Aku juga meliputi semua suara, kata, atau pemikiran tentang Sang
Aku dan segala sesuatu." 

June 25, 2012

Benang

Kadang ku bisa..
tak sulit.. mengalir begitu saja..
sama damainya..

Lalu saat angin berganti penjuru..

ku tak bisa lagi..
kuinginkan jiwaku kembali..
sepenuh damainya..

Kutanyakan Tuanku

apa benang masih terikat???
yakinku dipudarkan sunyi

Padanya dalam doa biasa kubertatap

Padanya pesan pikirku biasa terjawab

Spertinya tak ada lagi..

Doaku sepi, kutemukan ku seorang diri
Telepati hanya membawa pesanku kembali

Esok hari.. ku tegar berdiri

dan Surya berlalu.. ku tlah tak sanggup lagi

Sebenarnya ku jadi mengerti hatiku..

jiwa ini tak pernah berpaling
meski raga tak harus terpatri
hanya saja...

apa ia kan tegar

sperti karang tak terhanyut ombak

Meski dia penguasaku di alam dewata
ku sangat ingin hatinya setia..
sperti pada awalnya, sebagaimana akhirnya..

note : still..I need my lost 'turtle'..always be mine...for my soul...whenever, wherever...

May 3, 2012

Pagi untuk Semesta (flashfiction3)

Hari masih subuh, kira-kira pukul setengah lima pagi..
Luhde beranjak dari dari ranjangnya, rasanya sudah seabad tidur malamnya... Sejak pukul tiga dini hari dia hanya menunggu jam untuk terasa nyaman keluar dari kamarnya, rasanya sudah terlalu lelah melanjutkan tidurnya...

Membuka seluruh tirai jendela... seperti biasa pekarangan depan rumah menjadi tujuannya...
Luhde mulai mengamati apakah setiap tanaman masih cukup lembab mendapat air dari embun dan gerimis semalam...
Dari sekian jenis daun dan bunga di pekarangan mungilnya, entah kenapa bunga-bunga kamboja yang berjatuhan ditanah selalu mencuri perhatiannya...
selalu ada rasa pilu dan haru melihatnya...
Dipungutinya bunga-bunga yang layu kering itu bersama daun-daun yang berjatuhan, dan dengan berat hati dibuangnya ke sampah...
Haru...
Sebenarnya bunga-bunga yang jatuh itu begitu penuh makna...
bagi Luhde, bunga yang jatuh itu selalu mengingatkannya untuk ber-Trisandya di pagi hari atau Pratasewana...
Seandainya saja bunga-bunga itu tak berguguran, mungkin begitu saja terlewatkan dari perhatian... karena bunga itu tumbuh jauh diujung atas ranting... tak kan dapatkan perhatian dari hati dan pikiran yang kalut dalam kesibukan dan kebisingan...

Bergegas Luhde menuju ke teras balkon atas rumah, kebetulan balkon itu menghadap ke Timur, dibersihkannya tempat itu cepat-cepat... sudut ruang yang selalu dipakainya untuk menyambut Sang Surya... sudut yang terasa sempurna baginya...
Diliriknya ujung cakrawala di depannya... warna merah mulai bersemburat, setelah mandi dan membersihkan diri... Kembalilah Luh kepada pohon kambojanya di bawah... Dengan mengucap ijin dalam hatinya kepada pohon itu, Luh perlahan menggoyangkan dahannya, mengharap sekuntum bunga jatuh tuk dipersembahkan dalam sembahyang paginya...

Terasa sulit memang untuk mendapatkan atau membuat sebuah canang sari yang lengkap saat berada jauh dari pulau Dewata... tapi tak apa... menurut Bhagawan Guru... sekuntum bunga dan sebuah dupa pun sudah pantas... yang terpenting adalah hati yang ikhlas dan penuh cinta..
Berbekal sekuntum bunga dan sebuah dupa beraroma bunga teratai favoritnya.. Luh menuju tempat pemujaannya pada Sang Penciptanya...

Melilitkan kain kamen yang dingin dan nyaman pada tubuh bagian bawahnya dan melilitkan sebuah selendang dipinggangnya...
Seperti biasa... devosinya dimulai dengan bermeditasi...

Mengambil sikap duduk bajrasana.. dipejamkannya matanya.. mengatur dan mulai menyadari nafasnya..

Luh mencari titik heningnya...
memusatkan pikir pada cakra adnya, dan menyalakan kobaran cahaya cinta kasih pada semesta di anahata cakranya...
.... tak semudah para yogi melakukannya...
justru semua hal menjadi muncul dan tumpah dalam pikirannya... Gelembung-gelembung sabun berisi problematika mulai memenuhi dimensinya...
Tentu saja gelembung sabun ini harus ditepuk satu persatu hingga seluruhnya berlalu...
supaya hati dan pikirnya hanya untuk Sang Pencipta...
Luh punya cara untuk membebaskan dirinya dari serangan gelembung sabun di sekitar kepalanya itu...
Bukan memaksanya untuk lenyap begitu saja...
Tapi memberikan fokus pada masing-masing gelembung itu... mengembalikan keterbatasannya pada Sang Hyang Widhi... memaknai setiap gelembungnya dan kemudian pasrah dan ikhlas menerima setiap gelembung itu menjadi bagian dalam dirinya...
Lalu mengajak mereka semua untuk ikut memujaNya...
dalam satu raga, satu jiwa, satu kesatuan dengan empat saudara tak berwujud, satu fokus...
yaitu Luh sendiri...

Seperti harus melewati semak berduri, proses ini harus dilalui....

Luh masing berjuang mengatur irama nafasnya...
Hening yang terasa lama... Detik-detik yang terasa abadi...
Bertarungkah ia dengan dirinya...?
Terlihat air mata mengalir dipipinya... lambang kelemahannya? ataukah justru kekuatannya?

Semakin lama air mata itu mereda... Cahaya hangat dari ufuk Timur mulai menghangatkan wajahnya... ada senyum mungil di sudut bibirnya.. tak berapa lama nampaklah rona kemenangan pada cahaya mukanya.. kehalusan ritme nafasnya menyapa pagi dan Sang Surya... lalu terdengarlah bait-bait merdu mantra Trisandya dari bibirnya...
Luh telah memilih pasrah kepadaNya...

Selamat pagi Semesta! Apa kabar pahatan kura-kura Bangli-ku..
hasil karya tanganku...
Tlah sekali lagi Buana ini mengitari matahari...
Seandainya tlah ada yang menemukannya... Gantungkanlah kembali di pohon peneduhku..
Tapi bila seseorang yang menemukannya pun menginginkannya.. semoga jadi berarti sebagaimana aku penuh memaknainya...

April 24, 2012

Pelajaran berarti

duh Sang Hyang Widhi
lelahnya aku
sungguh raga ini membelengguku
dunia ini mengikatku
karya dan usaha menekan pikirku
hasrat dan kehendak menghimpit batinku
 
ajari aku menguasai
ajari aku melebihi
ajari aku melewati
ujian dari dewa dan dewi
 
jadi apa aku setelah ini
sperti apa wujudku nanti
sangat ingin aku mengerti
 
ku mohon bimbinganMu
kekanglah emosiku saat tinggi lelahku
stabilkan devosiku saat waktu tercuri dariku
arahkan pikiranku padaMu meski kerumitan merenggutku
 
duh Hyang Widhi
tinggalah satu yang meneguhkanku
cintaMu dan sluruh cinta yang hadir di hidupku
 
Hyang Widhi sungguh ini pelajaran berarti
tekanan ini kan bawaku ke tempat yang lebih tinggi 
Satuhu.

March 11, 2012

Terhenti

Terdiam ku di angkasa,
menikmati adaku bagi semesta.
Kupandang tarian gugus Bima Sakti,
hening, putih, terang, lembut penuh energi.

Inilah tempat pelarianku,
saat jemari kaku ketikkan sastra.

Ku tak mampu tuliskan,
tak satu baitpun di kanvas.
Kegalauanku berlibur ke Mars,
terbawa padanya cat dan kuas.

Tinggal ku sendiri..
sepi..
tanpa ilustrasi.
tanpa inspirasi.

Tuanku, Matahari Timurku
Inilah..
Cinta batinmu padaku,
Frustasimu menjaga rasaku,
Kebingunganmu menempatkanku,
...
sungguh damai mengisi hidupku

Aku terhenti,
ingin setia selamanya...
Memeluk wangi bunga kamboja,
dan menyematkanmu di relung jiwa.
Astungkara..

February 1, 2012

Hari Yang Lain

Kurasakan hari yang lain
Hari yang begitu senyap
Hatiku hanya lamat dalam hangat
Tak dingin tapi terasa bening

Aku dan alam sedang bersahabat
Kuberdansa padanya
Irama yang serasi
Mungkin irama gending jawa yang mengalun lambat
Biarlah.. kami berbisik dan bercinta

Surya pagi tak menyengat
Berpijar hangat untukku sang sahabat
......
......
......
Sepertinya aku mengenali rasa ini
Kutatap dalam rindu
......
Dan melelehlah air mataku


Note : Selamat Hari Raya Galungan, semoga kebersihan jiwa selalu terjaga. Astungkara

January 24, 2012

Bicara

Kutumpahkan semua padamu
kutuang semua emosiku
dari surya terbit hingga terbenam
bahkan hingga dalam mimpi tidurku
tiap menit detik tak putus ku ceritakan
dengan sejuta kosa kata
dengan seribu bahasa...
tak ingin aku putus melegakan isi hati

Fahamkah kau akan bahasaku?
uraianku yang tanpa titik koma
hujan kalimat sarat emosi
eforia, histeria...

Otakku berputar cepat
tak selambat lidahku mengucap kalimat
aku bicara padamu
dan terus bicara tanpa ada hentinya...

Karena hanya kau yang kupercaya
kau menangkap secepat kilat
mengikuti rima dan bait
membalas kisah dengan seksama

Saat aku menderas emosi
menggumam tanpa pita suara
menggeretakkan gigi dan lidah dalam hati saja
tanpa lisan yang ditangkap telinga
tanpa tulisan yang terbaca mata
justru kau menangkap semuanya

Kau adalah penyeimbang
yang tersimpan di jiwa
tak tersentuh olehku
tapi menyentuh seluruh hidupku