December 27, 2011

Tak Pasang Tak Surut

cinta tak kenal pasang surut
.....
apa kemarin kau merasa cinta?
lalu hari ini setelah kau kecewa
dan hari lalu setelah kau cemburu,
cintamupun ikut berlalu?

apakah dulu kaurasa mencinta
lalu kemarin kau lelah menempuhnya
dan kala itu tak ingin memikirkannya,
cintamu terhapus kalut?

emosi berkostum cinta
adalah tipuan bagi jiwa

karena cinta tak mengenal pasang surut
selalu ada disisi jiwa...
hangat meski tak ada
berpijar dalam bait-bait doa
tak lelah karena cemburu
tak patah karena kecewa
tak tersulut karena iri
tak terbakar persaingan
tak mengumpat tak mengancam

cinta tak bisa dikekang pikiran
karna bukan pikiran yang melahirkannya

berikan penghargaanmu
pada sang jiwa dan sang tubuh
hendaknya mencari dalam keheningan
supaya terjawab,
adakah cinta itu??

bila memang ada...
sucikan dalam jiwa
tutup rapat dalam makna

cinta bukan sirkus
atau lukisan murahan
yang bijaksana mampu menatap kedalam
seberapapun kemilau di luarnya

Note: berfilsafat sambil nongkrongin subkon di proyek.. Knp gak naik2 juga atapnya.. Come on lah, akhir thn sdh hitungan menit..

December 23, 2011

Desember

hampir...
saatnya menutup buku 2011
kutengok lirih setahun dibelakang
dadaku sesak,
mungkin bahagia...
mungkin kecewa...
atau mungkin keduanya
aku tak ingin menyimpulkan

tak akan kulawan
tak pula aku lebihkan
sebaiknya aku biarkan
menemaniku dalam perjalanan

inilah ceritaku, inilah milikku

November 27, 2011

Diam-ku

Om, swastiastu

Paduka angin yang agung,
kenapa kau ragukan aku?
kurasakan hatimu tanyakan diamku

kudiam karna mencari jawaban
kudiam menulusuri untaian doa
mencari tahu keinginan dalam hati
mencari tahu kemurnian keinginan diri

kucari tahu apa penyebab resahku
lalu kucari tahu pula asal ketenanganku

paduka angin yang agung
belum kutau penyebab resahku
tapi biarlah tetap seperti itu

paduka angin yang agung
tlah kutemukan asal ketenanganku
penghalau resah yang tak tentu arah

saat aku ingin tetap mencintaimu
dan tak inginkan apapun darimu

saat kusadari hati ini milikmu
saat kuingin menderaskan cinta padamu
tanpa syarat, tanpa pamrih

paduka angin yang agung
kuyakini hatimu penuh doa untukku
syahadatmu menembus jiwaku
mampukanku jalani hidup semestinya

hatiku setia pada paduka
jangan berprasangka,
saat aku hanya terdiam.

Om shanti shanti shanti Om

November 12, 2011

Kering

meski kukagumi warnanya
meski kucintai harumnya
meski kurawat dalam cinta..
meski kunantikan dengan air mata..

penyemangatku di pagi hari
kegembiraanku di sore hari

mungkin memang sudah saatnya..
bunga kambojaku gugur
dan mengering

siapa kini pelipur hatiku?
akupun jadi kering

October 16, 2011

Pura di Lereng Lawu dan Sekitarnya

Akankah Hindu akan berkibar kembali di Bumi Nusantara ? Jawaban atas pertanyaan tersebut sering dikaitkan dengan ramalan, seperti : Ramalan Joyoboyo atau Sumpah Sabda Palon dan Naya Genggong, dimana ketika Brawijaya VII (Majapahit terakhir) dan berakhirnya Dinasti Raja-Raja Hindu diramalkan Hindu akan kembali berkibar di Bumi Nusantara. Apakah sekarang ini saatnya ? persepsi tentang hal itu akan berbeda-beda, tetapi kita tidak perlu berdebat tentang hal yang merupakan kekuasaan Hyang Widhi tetapi mari kita lihat bersama fenomena yang ada sekarang ini dimasyarakat. Hindu di Indonesia yang sekarang bukan lagi dominasi penduduk Bali sudah bisa dilihat dengan jelas, dimana-mana di Indonesia kita sudah bisa melihat tersebarnya umat Hindu ini, tentunya kuantitas bukan menjadi ukuran. Di Jawa khususnya Jawa Tengah umat Hindu asli suku Jawa cukup banyak jumlahnya. Mengutip nasihat orang tua tentang pengertian ”Jawa ” yang dikaitkan dengan ”Bali Jowone” bisa dijadikan rujukan, bahwa Jawa yang berasal dari Arjawan (jujur) menjadi idaman kita semua sehingga harapan ”Bali Jowone (Kembalinya sifat Jujur) bermakna luas menjadi kembalinya ajaran leluhur ini di bumi Nusantara. Ajaran leluhur dimaksud tentunya Ajaran Hindu. Secara fisik sekarang sudah bisa kita lihat dengan banyak berdiri Pura dimana-mana diluar Bali.

Dilereng Gunung Lawu, yang merupakan wilayah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah banyak bertempat tinggal umat Hindu asli suku Jawa, juga disekitar Karanganyar yang merupakan ex Kresidenan Surakarta (Solo, Karanganyar,Sukoharjo, Sragen, Wonogiri, dan Klaten). Di Karanganyar ada belasan Pura seperti : Kec.Mojogedang ada Pura Amertha Shanti dan Pura Sedaleman, di Kec.Ngargoyoso ada Pura Sumber Sari, Pura Jonggol Shanti Loka, Pura Tunggal Ika, Pura Argha Bhadra Dharma, dan Pura Luda Bhuwana. Di Kec. Jenawi ada Pura Lingga Bhuwana dan beberapa Pura lainnya. Di Kec.Karangpandan ada Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita. Pura di Karanganyar ini dibangun setelah mulai bangkitnya umat Hindu ini, jadi bukan peninggalan sejarah seperti : Candi Ceto dan Candi Sukuh. Di Kabupaten Sragen yang sering dilalui kendaraan dari Surabaya (untuk arah dari timur yang merupakan jalur selatan), juga banyak dijumpai Pura. Di Kec.Masaran ada Pura Jagadpati dan Pura Mojo Agung. Di Kec.Sumberlawang ada Pura Jowongso, Pura Bhuana Loka, Pura Tirta Dharma, dan Pura Jati. Di kec.Miri ada Pura Desa Miri, dan Kec.Sukowati ada Pura Agung Bhuwana. Pura di Karanganyar dan Sragen ini keberadaannya di Desa yang penduduknya umat Hindu dari suku Jawa, Pura serupa ada di Sukoharjo, Klaten, juga Boyolali (Ngenden dan lain-lain). Yang berbeda adalah Pura dilingkungan Surakarta (Solo). Karena Surakarta termasuk kota, maka Pura ini banyak di Ampu (Pengempon) oleh umat Hindu asal Bali yang menetap di Surakarta berbaur dengan umat Hindu Suku Jawa. Pura tersebut adalah : Pura Bhuwana Agung Saraswati di lingkungan Kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) , Jebres Surakarta, Pura Indraprasta – Mutihan Surakarta, Pura Bhirawa Dharma di Komplek Koppasus Karang Menjangan, Kartasura, dan Pura Mandira Seta disebelah Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Pura di wilayah Karanganyar tempatnya di desa-desa di kaki Gunung Lawu sehingga suasana Pura ini sangat sejuk dan nyaman bagi umat yang berkunjung. Umat Hindu diwilayah ini sebelumnya jumlahnya lebih banyak dari sekarang namun karena situasi tertentu, seperti : kesulitan Pengurusan KTP, Akte Perkawinan, dan juga kurang dukungan maka lama kelamaan jumlahnya semakin menipis, syukur sekarang sudah terbentuk PHDI juga Peradah sehingga kepercayaan diri mereka semakin baik. Secara umum Pura disini ber-ornamen Bali dan Pelinggihnya biasanya berupa Padmasana, karena memang tidak bisa dipungkiri, bahwa keberadaan orang Bali kedaerah ini banyak mendorong perkembangan Hindu di wilayah ini. Disamping itu sebagai kebutuhan awal, maka sarana sembahyang berupa Pura menjadi hal yang pokok disamping peningkatan Srada. Secara tidak sadar kedatangan orang Bali yang berbaur dengan penduduk setempat, apakah sebagai Guru, Polisi, atau Pegawai seperti sudah ditakdirkan menjadi bagian dari proses bangkitnya Hindu ini. Namun tidak bisa dilepaskan juga adalah keterlibatan tokoh-tokoh umat Jawa sendiri, seperti : Harjanto (Tokoh di Pura Mandira Seta), juga Supanggih, Romo Maming, Sunarto, dan umat Jawa lainnya. Beliau-beliau ini sudah berkiprah ketika Hindu di Jateng ini belum dikenal seperti sekarang. Juga bisa dilihat bagaimana kuatnya srada ke Hinduan sesepuh di Mutihan tetap bertahan di suatu tempat Pemujaan ditengah-tengah umat beragama lainnya. Sekarang dengan kedatangan orang Bali Pura ini dikembangkan dan dikenal dengan Pura Indraprasta. Romo Maming juga sangat besar jasanya, dimana dengan tangan sendiri beliau membangun tempat pemujaan sehingga sering berminggu-minggu berada disuatu tempat. Bangunan yang dihasilkan sudah tentu bukan Padmasana atau Meru, tetapi apakah salah ? rasanya karena didasari ketulusan hati walaupun itu berupa seonggok batu yang disakralisasi (Pratista) tetap merupakan sarana yang baik untuk menghubungkan diri kepada sang pencipta. Bagaimana dengan Candi di Karanganyar yang merupakan peninggalan sejarah ?. Candi Ceto dan Candi Sukuh walaupun Dikelola Dinas Purbakala tetap bisa menjadi tempat Pemujaan umat Hindu. Seperti misalnya Candi Ceto, Candi ini sering dijadikan acara umat Hindu dengan tradisi Jawa berupa Mondosio (Medangsia). Candi Ceto dan Candi Sukuh juga sering dikunjungi umat Hindu dari Bali. Yang agak lain adalah keberadaan Patung Dewi Saraswati hasil kerjasama Pemda Karanganyar dengan Pemda Gianyar Bali. Nuansa Pariwisatanya sangat kental karena Publikasi gencarnya dari Dinas Pariwisata Karanganyar. Patung ini berada diatas sebelah kanan Candi Ceto. Yang menjadi pertanyaan adalah Meru Tumpang Tiga (Susun Tiga) yang tepat berada disebelah Patung tersebut yang merupakan peninggalan asli tidak ikut dipublikasikan atau kenapa bukan peninggalan asli yang dikembangkan. Di Kec.Karangpandan ada Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita. Tempat ini hakekatnya memang Pura Kawitan karena terdapat Petilasan Trah Pasek juga Pemujaan leluhur Pasek (Sapta Pandita) tetapi tempat ini juga adalah Pura umum, sehingga umat Hindu suku Jawa juga umat Hindu asal Bali yang bersedia, bahkan umat non Hindu banyak yang datang bersembahyang ke Petilasan ini. Tempat ini juga sering dipakai untuk event-event seperti : Pemilihan Pengurus PHDI Karanganyar, Peradah Karanganyar, dan Tirta Yatra Mahasiswa Hindu Jogja sekitarnya dari berbagai Soroh (clan). Bagaimana dengan Kabupaten Sragen ?. Umat Hindu asal suku Jawa cukup banyak disini. Yang menjadi sentranya adalah Pura Jagadpati Masaran. Tokoh disini adalah Ketut Ardana , seorang Polisi yang mertuanya tokoh Hindu asal suku Jawa disana. Semangat juang umat Hindu disini pantas dijadikan contoh. Dengan kepiawaian dan keberanian Ketut Ardana juga perjuangan gigih tokoh dan umat lainnya dari suku Jawa, telah menggugah umat Hindu lainnya untuk terlibat, melalui sumbangan dana atau bantuan lainnya. Sekarang sudah berdiri Pura yang cukup megah untuk ukuran Pura di pedesaan, walau belum sesuai harapan karena saat ini masih sedang membangun sarana fisik lainnya dan perlu dukungan para dermawan. Event-event penting juga sering dilakukan di Pura ini seperti : Lokasaba Peradah, bahkan saat Ngenteg Linggih Pura Jagadpati, sempat mengundang PHDI Pusat : Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa dan Adi Suripto. Kedepan Pura Jadadpati bisa menjadi motor pengembangan umat Hindu di Sragen dan sekitarnya. Yang perlu mendapat perhatian adalah Pura di Kec. Sumberlawang, seperti Pura Jowongso. Pura ini sudah semakin sepi umat kalau tidak mau dikatakan ditinggalkan umat, karena banyak umatnya yang sudah beralih dari Agama Hindu, sehingga sangat diperlukan keterlibatan umat Hindu yang peduli atau Lembaganya. Umat Hindu di wilayah ini juga di Karanganyar dan sekitarnya memang membutuhkan tempat sembahyang (Pura) tetapi disamping itu mereka juga perlu didorong peningkatan Srada, sehingga umat Hindu secara pribadi atau lembaga digugah untuk mau terjun ke kantong-kantong Hindu ini. Bagi yang punya dana sumbangkan untuk pembangunan fisik, bagi yang punya buku-buku Hindu salurkanlah, bagi yang punya kemampuan pengetahuan Hindu lakukan Jnana Punia.

Pura di wilayah Surakarta adalah Pura masa depan, kenapa demikian ? Pura disini yang sering menjadi tempat persembahyangan kebanyakan umat Hindu dari Bali, jumlahnya cukup banyak dibandingkan dengan jumlah umatnya. Pura tersebut adalah Pura Bhuana Agung Saraswati, Pura Indraprasta dan Pura Bhirawa Dharma. Pura ini di ampu (di-empon) oleh tiga Banjar , yaitu Solo Timur, Solo Tengah, dan Solo Barat, jumlah umatnya hanya sekitar 75 KK, sangat jauh bedanya dengan Pura Tirta Bhuana di Bekasi misalnya yang di-ampu oleh belasan Tempek. Umat di Surakarta harus pandai-pandai mengatur diri sehingga sepertinya umat terpecah padahal tidak, itu hanya agar masing-masing Pura yang ada tetap hidup dalam artian ada umat bersembahyang. Mungkin beberapa generasi lagi baru bisa sepadan antara jumlah umat dengan Pura yang ada. Yang lain adalah Pura Mandira Seta disebelah Kraton Kasunanan Surakarta. Keberadaan Pura ini adalah berkat perjuangan Harjanto almarhum. Tempat ini lebih banyak dijadikan tempat berlatih Yoga (Raja Yoga) disamping untuk bersembahyang, sekarang ini sudah ada tempat berlatih lain didaerah Bekonang Sukoharjo yang banyak diikuti umat dari Manca Negara.

Menyatukan umat walau dalam satu payung Agama Hindu, tetapi karena berasal dari dua suku yang berbeda (Jawa dan Bali), maka tentu akan ada interaksi yang perlu dijalani dengan kearifan. Seperti Pura dengan ornamen Bali dengan Pelinggih yang biasa dipergunakan di Bali (Padmasana dan Meru) jangan menjadi hambatan, kedepan boleh saja kita gali sama-sama peninggalan leluhur mengenai bentuk bangunan yang bernuansa Hindu dengan local genius (kearifan lokal/setempat). Juga jangan terus berada pada tataran Banten (Upakara) dengan dikotomi ”Banten Jawa dan Banten Bali” masuklah ke tataran Tattwa, karena banten itu intinya adalah wujud bhakti kita pada Hyang Widhi jadi saripatinya adalah „Ketulusan“ bukan bentuk fisiknya. Jika menoleh kebelakang bukankah leluhur orang Bali yang berasal dari Jawa membawa agama Hindu ke Bali tentunya dengan sarana persembahyangan berupa Banten ? selanjutnya banten ini berkembang sesuai dengan seni budayanya orang Bali, maka setelah dibawa kembali ke Jawa sudah tidak dikenal lagi oleh umat Jawa. Walaupun demikian perlu digugah umat Hindu asal Jawa yang menekuni seni budaya agar menggali persembahyangan seperti : Mondosio, Dukutan, termasuk sarana seperti tempe bosok dan rokok klintingan dan lainnya untuk didokumentaskan, lalu dicarikan dasar Wedanya (tattwa) kepada Sulinggih, sehingga menjadi jelas dan benar apa yang kita lakukan. Akhirnya melalui tulisan ini semoga umat Hindu atau umat pada umumnya yang peduli bersedia datang melakukan Tirta Yatra ke Karanganyar dan sekitarnya dengan tulus iklas tanpa pamrih dan tanpa motif-motif tertentu, seperti disebutkan dalam ”Sarasamuccaya Sloka 279 : sada daridrairapi hi sakyam praptum naradhipa, tirthabhigamanam pun-yam yajnerapi visisyate (artinya : Sebab keutamaan Tirtayatra itu amat suci, lebih utama daripada pensucian dengan yadnya; Tirthayatra dapat dilakukan oleh si miskin)


Dilaporkan,

Nyoman Sukadana
Jaten- Karanganyar, Solo
Jawa Tengah
14-04-2006

October 11, 2011

Kisah Serat Sastra Jendra

Let me share a "Nusantara Mythology"... semoga kita bisa menggali makna bersama...

Dalam lakon wayang Purwa, kisah Ramayana bagian awal diceritakan asal muasal keberadaan Dasamuka atau Rahwana tokoh raksasa yang dikenal angkara murka, berwatak candala dan gemar menumpahkan darah. Dasamuka lahir dari ayah seorang Begawan sepuh sakti linuwih gentur tapanya serta luas pengetahuannya yang bernama Wisrawa dan ibu Dewi Sukesi yang berparas jelita tiada bandingannya dan cerdas haus ilmu kesejatian hidup. Bagaimana mungkin dua manusia sempurna melahirkan raksasa buruk rupa dan angkara murka ? Bagaimana mungkin kelahiran ” sang angkara murka ” justru berangkat dari niat tulus mempelajari ilmu kebajikan yang disebut Serat Sastrajendra.

Ilmu untuk Meraih Sifat Luhur Manusia.

Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara lengkap disebut Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwatingdiyu. Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan. Pengertiannya bahwa Serat Sastrajendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.

Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misal kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama ” Betara Kala ” (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut ” Kayangan Setragandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.

Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan paling sempurna. Bahkan ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran dzat-Nya. Filosof Timur Tengah Al Ghazali menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari dzat hara berbeda dengan jin atau malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya. Namun manusia memiliki sifat sifat yang mampu menjadi ” khalifah ” (wakil Tuhan di dunia).

Namun ilmu ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Wisrawa seorang satria berwatak wiku yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna untuk mendapat anugerah rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Diyu.
Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu. Sebelum ” madeg pandita ” ( menjadi wiku ) Wisrawa telah lengser keprabon menyerahkan tahta kerajaaan kepada sang putra Prabu Danaraja. Sejak itu sang wiku gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya. Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata.

Sifat Manusia Terpilih.

Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra, para dewata bertanya pada sang Betara Guru. ” Duh, sang Betara agung, siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya. “
Bethara guru menjawab ” Pilihanku adalah anak kita Wisrawa “. Serentak para dewata bertanya ” Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi pelajaran bagi kita semua”
Kemudian sebagian dewata berkata ” Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia “.

Seolah menegur para dewata sang Betara Guru menjawab “Hee para dewata, akupun mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan pada manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci, bahwa malaikat mempertanyakan pada Tuhan mengapa manusia yang dijadikan khalifah padahal mereka ini suka menumpahkan darah”. Serentak para dewata menunduk malu ” Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui”
Kemudian, Betara Guru turun ke mayapada didampingi Betara Narada memberikan Serat Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.

” Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan memberi amanah Serat Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia”
Mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan ” Ampun, sang Betara agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini “.
Betara Narada mengatakan ” Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2 (dua). Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik. ” Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.
Setelah menerima anugerah Sastrajendra maka sejak saat itu berbondong bondong seluruh satria, pendeta, cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa melamar menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya.

Nun jauh, negeri Ngalengka yang separuh rakyatnya terdiri manusia dan separuh lainnya berwujud raksasa. Negeri ini dipimpin Prabu Sumali yang berwujud raksasa dibantu iparnya seorang raksasa yang bernama Jambumangli. Sang Prabu yang beranjak sepuh, bermuram durja karena belum mendapatkan calon pendamping bagi anaknya, Dewi Sukesi. Sang Dewi hanya mau menikah dengan orang yang mampu menguraikan teka teki kehidupan yang diajukan kepada siapa saja yang mau melamarnya. Sebelumnya harus mampu mengalahkan pamannya yaitu Jambumangli. Beribu ribu raja, wiku dan satria menuju Ngalengka untuk mengadu nasib melamar sang jelita namun mereka pulang tanpa hasil. Tidak satupun mampu menjawab pertanyaan sang dewi. Berita inipun sampailah ke negeri Lokapala, sang Prabu Danaraja sedang masgul hatinya karena hingga kini belum menemukan pendamping hati. Hingga akhirnya sang Ayahanda, Begawan Wisrawa berkenan menjadi jago untuk memenuhi tantangan puteri Ngalengka.

Pertemuan Dua Anak Manusia.

Berangkatlah Begawan Wisrawa ke Ngalengka, hingga kemudian bertemu dengan dewi Suksesi. Senapati Jambumangli bukan lawan sebanding Begawan Wisrawa, dalam beberapa waktu raksasa yang menjadi jago Ngalengka dapat dikalahkan. Tapi hal ini tidak berarti kemenanmgan berada di tangan. Kemudian tibalah sang Begawan harus menjawab pertanyaan sang Dewi. Dengan mudah sang Begawan menjawab pertanyaan demi pertanyaan hingga akhirnya, sampailah sang dewi menanyakan rahasia Serat Sastrajendra. Sang Begawan pada mulanya tidak bersedia karena ilmu ini harus dengan laku tanpa ” perbuatan ” sia sialah pemahaman yang ada. Namun sang Dewi tetap bersikeras untuk mempelajari ilmu tersebut, toh nantinya akan menjadi menantunya.

Luluh hati sang Begawan, beliau mensyaratkan bahwa ilmu ini harus dijiwai dengan niat luhur. Keduanya kemudian menjadi guru dan murid, antara yangf mengajar dan yang diajar. Hari demi hari berlalu keduanya saling berinteraksi memahamkan hakikat ilmu. Sementara di kayangan, para dewata melihat peristiwa di mayapada. ” Hee, para dewata, bukankah Wisrawa sudah pernah diberitahu untuk tidak mengajarkan ilmu tersebut pada sembarang orang “.

Para dewata melaporkan hal tersebut kepada sang Betara Guru. ” Bila apa yang dilakukan Wisrawa, bisa nanti kayangan akan terbalik, manusia akan menguasai kita, karena telah sempurna ilmunya, sedangkan kita belum sempat dan mampu mempelajarinya “.

Sang Betara Guru merenungkan kebenaran peringatan para dewata tersebut. ” tidak cukup untuk mempelajari ilmu tanpa laku, Serat Sastrajendra dipagari sifat sifat kemanusiaan, kalau mampu mengatasi sifat sifat kemanusiaan baru dapat mencapai derajat para dewa. ” Tidak lama sang Betara menitahkan untuk memanggil Dewi Uma.untuk bersama menguji ketangguhan sang Begawan dan muridnya.
Hingga sesuatu ketika, sang Dewi merasakan bahwa pria yang dihadapannya adalah calon pendamping yang ditunggu tunggu. Biar beda usia namun cinta telah merasuk dalam jiwa sang Dewi hingga kemudian terjadi peristiwa yang biasa terjadi layaknya pertemuan pria dengan wanita. Keduanya bersatu dalam lautan asmara dimabukkan rasa sejiwa melupakan hakikat ilmu, guru, murid dan adab susila. Hamillah sang Dewi dari hasil perbuatan asmara dengan sang Begawan. Mengetahui Dewi Sukesi hamil, murkalah sang Prabu Sumali namun tiada daya. Takdir telah terjadi, tidak dapat dirubah maka jadilah sang Prabu menerima menantu yang tidak jauh berbeda usianya.

Tergelincir Dalam Kesesatan.

Musibah pertama, terjadi ketika sang senapati Jambumangli yang malu akan kejadian tersebut mengamuk menantang sang Begawan. Raksasa jambumangli tidak rela tahta Ngalengka harus diteruskan oleh keturunan sang Begawan dengan cara yang nista. Bukan raksasa dimuliakan atau diruwat menjadi manusia. Namun Senapati Jambumangli bukan tandingan, akhirnya tewas ditangan Wisrawa. Sebelum meninggal, sang senapati sempat berujar bahwa besok anaknya akan ada yang mengalami nasib sepertinya ditewaskan seorang kesatria.

Musibah kedua, Prabu Danaraja menggelar pasukan ke Ngalengka untuk menghukum perbuatan nista ayahnya. Perang besar terjadi, empat puluh hari empat puluh malam berlangsung sebelum keduanya berhadapan. Keduanya berurai air mata, harus bertarung menegakkan harga diri masing masing. Namun kemudian Betara Narada turun melerai dan menasehati sang Danaraja. Kelak Danaraja yang tidak dapat menahan diri, harus menerima akibatnya ketika Dasamuka saudara tirinya menyerang Lokapala.

Musibah ketiga, sang Dewi Sukesi melahirkan darah segunung keluar dari rahimnya kemudian dinamakan Rahwana (darah segunung). Menyertai kelahiran pertama maka keluarlah wujud kuku yang menjadi raksasi yang dikenal dengan nama Sarpakenaka. Sarpakenaka adalah lambang wanita yang tidak puas dan berjiwa angkara, mampu berubah wujud menjadi wanita rupawan tapi sebenarnya raksesi yang bertaring. Kedua pasangan ini terus bermuram durja menghadapi musibah yang tiada henti, sehingga setiap hari keduanya melakukan tapa brata dengan menebus kesalahan. Kemudian sang Dewi hamil kembali melahirkan raksasa kembali. Sekalipun masih berwujud raksasa namun berbudi luhur yaitu Kumbakarna.

Akhir Yang Tercerahkan.

Musibah demi musibah terus berlalu, keduanya tidak putus putus memanjatkan puja dan puji ke hadlirat Tuhan yang Maha Kuasa. Kesabaran dan ketulusan telah menjiwa dalam hati kedua insan ini. Serat Sastrajendra sedikit demi sedikit mulai terkuak dalam hati hati yang telah disinari kebenaran ilahi. Hingga kemudian sang Dewi melahirkan terkahir kalinya bayi berwujud manusia yang kemudian diberi nama Gunawan Wibisana. Satria inilah yang akhirnya mampu menegakkan kebenaran di bumi Ngalengka sekalipun harus disingkirkan oleh saudaranya sendiri, dicela sebagai penghianat negeri, tetapi sesungguhnya sang Gunawan Wibisana yang sesungguhnya yang menyelamatkan negeri Ngalengka. Gunawan Wibisana menjadi simbol kebenaran mutiara yang tersimpan dalam Lumpur namun tetap bersinar kemuliaannya. Tanda kebenaran yang tidak larut dalam lautan keangkaramurkaan serta mampu mengalahkan keragu raguan seprti terjadi pada Kumbakarna. Dalam cerita pewayangan, Kumbakarna dianggap tidak bisa langsung masuk suargaloka karena dianggap ragu ragu membela kebenaran.

Melalui Gunawan Wibisana, bumi Ngalengka tersinari cahaya ilahi yang dibawa Ramawijaya dengan balatentara jelatanya yaitu pasukan wanara (kera). Peperangan dalam Ramayana bukan perebutan wanita berwujud cinta namun pertempuran demi pertempuran menegakkan kesetiaan pada kebenaran yang sejati.

(dr blog tetangga https://kariyan.wordpress.com/2010/03/02/rahasia-serat-sastra-jendra-hayuningrat/)

October 10, 2011

Menunggu

Maka aku akan menunggu selamanya..
Meski saat itu tak kan pernah datang sepanjang umurku

Setidaknya aku tak kan menyesal,
Karena aku tlah tak lelah menunggu tanpa ingin waktunya tiba...

Bukan aku atau kamu yang memutuskan batas waktunya..
Bila kita.. segalanya tak kan teruji lagi..
Bila kita.. kan ada kehancuran

Jalan pikiran kita bukan jalan pikiranNYA
Sejauh bumi dari langit

Biarlah aku menunggu tanpa ingin saatnya tiba...
Biarlah aku menunggu tanpa mengharap datang waktunya...
Aku hanya menunggu dalam hikmat... karena aku mengagungkan DIA...
Bila jagadpun tlah habis masanya, dan saat itupun tak juga tiba...
Aku berjanji akan tetap bahagia...
Setidaknya jiwaku tak dirundung duka
pun tak dirundung penyesalan..
aku tlah menunggu dengan setulus hati.

Sperti buah simalakama...
hanya petaka bagi smua diluar narasiNYA..
DIA kan beri petunjuk sebagaimana DIA adalah sutradaranya..

Biarlah tetap teruji...
Biar aku dan kamu menyadari...
Bahwa smua ini abadi...
Bahwa smua ini benar-benar asli...
Aku menunggu
Tak lelah
Tak padam
Astungkara..

October 4, 2011

Jika Cinta...

Jika cinta jadi renta karena jarak... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena waktu... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena kata... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena harta... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena prasangka... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena hasrat seksual... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena keinginan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena kesehatan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena persahabatan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena keluarga... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena lingkungan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena kebutuhan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena kebebasan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena keterikatan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena tanggung jawab... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena beban hidup... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena masa lalu... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena kesibukan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena jalan pikiran... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena kepemilikan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena kepercayaan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena perbedaan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena keadaan... brarti itu bukan cinta

Saat kau benar-benar mencintai... yang ada hanyalah antara kau dan keheningan
Hanyalah hasrat untuk memberi tanpa dia harus menyadari yang tlah kauberikan
Hanyalah perasaan yang mendalam tanpa perlu dia tau apa yang kaurasakan
Hanyalah kepasrahan untuk disakiti dan dikecewakan
Kerelaan memendam segala kelemahan dan kesalahan
Kekuatan mewarna dan menghias takdir

Kau hanya harus diam saat tersayat pedangnya yang tajam
Kau hanya harus sabar dan tersenyum atas duka cita yang mungkin dia lemparkan

Kutukan adalah Eros dan Filia
tapi demi tuhan aku mengenal Agape...

September 13, 2011

Give Thanks

Telah dikirim padaku suatu titik waktu
dan waktu itu beserta s’gala keistimewaan didalamnya t’lah memulihkanku
Aku bukan lagi roh gamang gentayangan
bukan lagi asap merah meradang
bukan lagi kabut biru mengharu
Aku utuh, tak ingin lagi tergoyah

Sungguh aku bertanya-tanya akan caraNya memulihkanku
suatu keanehan yang sangat familiar dan sempurna untukku
cara inilah yang mungkin terbaik untukku
Dia tlah tentukan bagiku
pilihanNya itu memenuhi sisi lemahku
membuatku teguh tak ingin lengah lagi

I believe it as my beautiful fate
kunaikan syukur... give thanks to the Lord
abadikanlah bila sempurna dimataMu

jiwaku sudah utuh, hatiku penuh tergenapi
dipenuhi cinta yang terlebur dalam sukma
maybe I’m having an upragde level in my spirit
Perfect level of course masih terlalu jauh
sebuah jalan yang disiapkan hanya perlu dilalui
hanya dilalui
......dilalui
terus dilalui
hanya dilalui
sampai kan habis waktunya

September 6, 2011

Masih

Lama ya rasanya jagad ini berputar?
do you think so?

sebenarnya,
waktu untukku tak akan dilebihkan
toh juga tak akan dikurangkan

sesuai narasi aja...
menikmati penantian
meresapi kerinduan
menyuburkan ketulusan
menumbuhkan pengabdian

seandainya bisa sesempurna itu...
kecewa takkan menggores relung batinku

so..
what should I do?
nothing.. i guess
just want to relax
tak mengingkari kenyataan
tak pula mengingkari perasaan
juga tanpa memadamkan harapan

tentang jagad yang belum juga siang
sure i will understand
just take your time
seandainya ada pilihan lain untuk diucapkan..

i'm smiling looohh, you gotta smile too friends
waiting??....
absolutely laahhh
always
selalu
masih

August 24, 2011

Matahari

Matahari,
apa yang kaurasa saat ini?
tak’kah heningmu terasa asing
sperti temui sisi kosong ditinggalkan

Matahari,
aku merasa sendirian
meski tak ingin memikirkannya
meski tak ingin menyadarinya

Matahari,
aku tetap tegar dan tersenyum
sperti roda yang berputar takdirmu
ku ingin menyatu pada heningmu
mensyukuri tiap hadirmu
memberkati tiap pergimu

lihatlah aku masih bercahaya
sinarmu tetap terang walau malam
inilah aku bintang yang terang
meski kau sedang di seberang

August 8, 2011

Semut Merah

semut merah bergerak cepat
barisan bak tentara mengepung tulang punggung
menyebar ke pundak menuju tulang ekor
panas dan nyeri menyengat
aku menangis...

hati sedang menahan rasa
pikiran menahan emosi
jiwa membendung hasrat
slalu ini yang terjadi

aku ingin kebal melawan semut merah
jiwa ini harus tau
hasrat hati tak mungkin ditumpahkan

diamlah saja disitu jangan bergerak
jangan berontak
supaya semut merah tak datang

atas nama takdir, aku sudah kalah
atas nama cinta, aku hanyalah nista
atas nama bahagia, aku bukanlah apa-apa

diamkan tangisanku Guru
dalam pelukanMu
tengoklah bilur-bilur punggungku
sembuhkan dengan usapan tanganMu
aku ingin tertidur dalam pangkuanMu
selama aku mau....

August 2, 2011

Selesai

Jumat, 29 Juli 2011
Siput ini sudah kehilangan cangkang
satu-satunya tujuan untuk pulang
tempat berteduh waktu hujan
tempat berlindung waktu terik

tempat hati yang gusar ditentramkan
tempat emosi diredakan
bukan dengan kalimat atau tindakan
tapi dengan tatapan dan entah apa...
mungkin doa yang dia rapalkan dalam hatinya

mau apa aku??
dia mengorbankan dirinya untukku
dia pergi supaya lemahku terisi
begitulah seharusnya ikhlas...
ikhlasku harus dipaksa...
diajarkannya dengan kepergiannya...

ini kali pertama aku nyata-nyata kehilangan
tak mungkin merajuk saat hati ingin dilegakan

mulai hari ini harusnya aku paham
ikhlaskanlah, lepaskanlah... meskipun itu ada di depanmu...
ini hanya hidup yang penuh dengan maya
untuk apa mengejar dan tak ikhlas pada ilusi

akan kutentukan cita-cita baru
supaya aku tak lagi lekat
masih kupikirkan dalam lemahku...

sudahlah...
selamat jalan malaikat
tugasmu sudah selesai

aku kosong tanpa hasrat
ikhlasku kebablasan...
biar waktu menyembuhkan
dan menyuburkan lagi semangat

Rahayu Rahayu Rahayu
Satuhu

July 28, 2011

Wejangan Dewa Ruci

.......
termangu sang bima di tepian samudera dibelai kehangatan alun ombak setinggi betis
tak ada lagi tempat bertanya

sesirnanya sang naga nemburnawa dewaruci, sang marbudyengrat, memandangnya iba dari kejauhan, tahu belaka bahwa tirta pawitra memang tak pernah ada dan mustahil akan pernah bisa ditemukan oleh manusia mana pun.

mendekat sang dewa ruci sambil menyapa:
‘apa yang kau cari, hai werkudara, hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini
di tempat sesunyi dan sekosong ini’

terkejut sang sena dan mencari ke kanan kiri setelah melihat sang penanya ia bergumam:
‘makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?

serba sunyi di sini, lanjut sang marbudyengrat mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya

sang sena semakin termangu menduga-duga, dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa. Ah, paduka tuan, gelap pekat rasa hatiku. entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini. dan siapa sebenarnya diriku ini

ketahuilah anakku, akulah yang disebut dewaruci, atau sang marbudyengrat
yang tahu segalanya tentang dirimu anakku yang keturunan hyang guru dari hyang brahma, anak kunti, keturunan wisnu yang hanya beranak tiga, yudistira, dirimu, dan
janaka. yang bersaudara dua lagi nakula dan sadewa dari ibunda madrim si putri
mandraka. datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang durna untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini

bila demikian, pukulun, wejanglah aku seperlunya agar tidak mengalami kegelapan seperti ini terasa bagai keris tanpa sarungnya

sabarlah anakku,.memang berat cobaan hidup ingatlah pesanku ini senantiasa
jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu, jangan menyuap sebelum mencicipnya.
tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru, sesuatu terwujud hanya dari tindakan. janganlah bagai orang gunung membeli emas, mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan

duh pukulun, tahulah sudah di mana salah hamba bertindak tanpa tahu asal tujuan
sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka.

nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku. lanjut sang marbudyengrat

sang sena tertegun tak percaya mendengarnya; ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya
paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit kelingking pun tak akan mungkin muat.

wahai werkudara si dungu anakku, sebesar apa dirimu dibanding alam semesta?
seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku, jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam.
mendengar ucapan sang dewaruci sang bima merasa kecil seketika, dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang dewaruci yang telah terangsur ke arahnya

heh, werkudara, katakanlah sejelas-jelasnya segala yang kau saksikan di sana

hanya tampak samudera luas tak bertepi, ucap sang sena
alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang

janganlah mudah cemas, ujar sang dewaruci
yakinilah bahwa di setiap kebimbangan senantiasa akan ada pertolongan dewata
dalam seketika sang bima menemukan kiblat dan melihat surya
setelah hati kembali tenang tampaklah sang dewaruci di jagad walikan.

heh, sena! ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan!

awalnya terlihat cahaya terang memancar, kata sang sena
kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih.
apakah gerangan semua itu?

ketahuilah werkudara,
cahaya terang itu adalah pancamaya,
penerang hati, yang disebut mukasipat,
penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih.

cahaya empat warna, itulah warna hati
hitam merah kuning adalah penghalang cipta yang kekal,
hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu memiliki.
hanya si putih-lah yang bisa membawamu
ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam,

namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain
hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi.
hanya bisa menang dengan bantuan sang suksma.

adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan
di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar.

duhai pukulun, sedikit tercerahkan hati hamba oleh wejanganmu
setelah lenyap empat cahaya, muncullah nyala delapan warna,
ada yang bagai ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala
berkobar.

itulah kesejatian yang tunggal, anakku terkasih
semuanya telah senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan.
sering disebut jagad agung jagad cilik
dari sanalah asal kiblat dan empat warna hitam merah kuning putih
seusai kehidupan di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu,
tanpa terbedakan lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin,
akan tampak bagai lebah muda kuning gading
amatilah lebih cermat, wahai werkudara anakku

semakin cerah rasa hati hamba.
kini tampak putaran berwarna gading, bercahaya memancar.
warna sejatikah yang hamba saksikan itu?

bukan, anakku yang dungu, bukan,
berusahalah segera mampu membedakannya
zat sejati yang kamu cari itu tak tak berbentuk tak terlihat,
tak bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini.
sedang putaran berwarna gading itu adalah pramana
yang juga tinggal di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di pepohonan
ia tidak ikut merasakan lapar kenyang haus lelah ngantuk dan sebagainya.
dialah yang menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati,
ialah yang merawat raga
tanpanya raga akan terpuruk menunjukkan kematian.

pukulun, jelaslah sudah tentang pramana dalam kehidupan hamba
lalu bagaimana wujudnya zat sejati itu?

itu tidaklah mudah dijelaskan, ujar sang dewa ruci, gampang-gampang susah
sebelum hal itu dijelaskan, kejar sang bima, hamba tak ingin keluar dari
tempat ini
serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya.

itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai werkudara
mengenai zat sejati, engkau akan menemukannya sendiri
setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan
dari segala
goda,
di saat itulah sang suksma akan menghampirimu,
dan batinmu akan berada di dalam sang suksma sejati
janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api,
bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu
perbuatlah, jangan hanya mempercakapkannya belaka
jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini
jangan pernah punya sesembahan lain selain sang maha luhur

pakailah senantiasa keempat pengetahuan ini
pengetahuan kelima adalah pengetahuan antara,
yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati
hidup yang kekal, semuanya sudah berlalu
tak perlu lagi segala aji kawijayan, semuanya sudah termuat di sini.

maka habislah wejangan sang dewaruci,
sang guru merangkul sang bima dan membisikkan segala rahasia rasa
terang bercahaya seketika wajah sang sena menerima wahyu kebahagiaan
bagaikan kuntum bunga yang telah mekar.
menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta

dan blassss . . . !
sudah keluarlah sang bima dari raga dewaruci sang marbudyengrat
kembali ke alam nyata di tepian samodera luas sunyi tanpa sang dewaruci
sang bima melompat ke daratan dan melangkah kembali
siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan
.....

(dari blog tetangga:http://sanggrahanusantara.blogspot.com/2009/03/wejangan-dewa-ruci.html)

July 16, 2011

Kehilangan

Ssssttttt.... Aku sudah tau...
aku akan kehilangan.
Kusiapkan batin atas apa yang tak bisa ku elakkan...masih.

Aku lemah mengasihani diri,
serasa tak bisa bernafas sendiri.

Isi hidupku ini hanya ilusiMu untuk mengerjaiku...
arrrgghhh... aku marah.

Ikat saja aku Tuhan pada tiang di tengah nyala api...
Didik aku dengan keras sampai aku...
berhenti menghujat,
berhenti berteriak,
berhenti menangis,
berhenti berontak,
berhenti mengamuk dan bersumpah serapah...
Ikat saja aku...
Sampai aku bermandikan keringat...
gemetar karena tangisan...
pusing dan meratap...
lemas dan kehausan...
serak dan kelelahan...

Jangan mengasihani aku...
Sampai ikhlasku ditumbuhkan dan dimeteraikan...

Kenapa aku harus kehilangan???
dia mengasihiku
aku juga mengasihinya
dia semangatku,
aku ini gairah hidupnya...
takkah itu mengubah keputusanMu...

Tak bisa tak histeris atas keputusanMu...
Meski pada titik lelahku kukatakan:
ya sudahlah...
ya biarlah...
aku memang tak memilikinya
seperti aku tak memiliki ragaku

Ambil raganya, jauhkan seperti mauMu!!
tapi Kau takkan bisa ambil jiwanya..
Jiwanya memilih ada disisiku
menemaniku dalam setiap doa
menguatkanku dalam derita

sebenarnya kami terikat karenaMu
takkah Kau menyadarinya??
maafkan aku..
hari ini aku melawanMu
hanya tuk mengasah kedewasaanku
Brilah aku kelegaan..
Sang Hyang Widhi.. truly deeply I love U

June 24, 2011

Perempuan dan kebahagiaan

Itulah kenapa aku harus bahagia
seperti kamu berbahagia

perempuan..
pernahkah kau menginginkan sebuah gaun yang begitu indah
tapi gaun itu tak lagi indah saat kau telah memilikinya..
semua tetap akan seperti itu sampai bumi ini runtuh
haruskah kita tak bahagia.. karena dia tak berhenti berlari

Bahagia itu harus dipaksa
dimunculkan dari dalam hati
it’s ok... tak selalu begitu

Tak semua kata hati boleh dipenuhi
tak semua keinginan benar dituruti
it’s ok... tak mutlak juga begitu

Nurani tak pernah salah
tapi kebijaksanaan adalah penghadang
mereka berdiri di ujung yang berlawanan
okelah... tak selamanya seperti itu

senyuman manja, mata bercahaya, kata-kata lembut nan sayu
.....
didalamnya penuh beban tak terdefinisi dan tak mungkin dibagi
perih hati dan air mata adalah sahabat sekaligus pasangan jiwanya
itulah wajahmu... perempuan

tiap butir bahagia dilepaskan asalkan sang curahan hati terselamatkan
benih ketenangan dikorbankan asalkan sang mentari dapatkan kedamaian

perempuan... siapkan lagi hatimu
toh kekecewaan adalah nafasmu
kesedihan adalah darahmu
masukkan saja ke panci lalu dibumbui
kita masak sendiri kebahagiaan itu

biarlah tak termiliki
biarkan tetap indah
disitulah bahagia sejatimu kau dapatkan

Astungkara
Dominus Vobiscum

June 22, 2011

Kura-kura Bangli (Flashfiction2)


“Luh...”
“Ya Pak Yan... “, Luhde menjawab panggilan lembut Pak Wayan, ayah angkatnya yang dulu menemukannya dalam kondisi mental yang hampir rubuh. Pak Wayanlah yang membimbing Luhde menemukan semangat dirinya lagi setelah suatu peristiwa yang menghempasnya dari kesadaran.

“sedang apa Luh? Sudah mulai gelap... sebaiknya kaulanjutkan di dalam semua keasyikanmu itu, hari ini anginnya kencang, sepertinya lampunya juga perlu diganti.... redup sekali disini?” ujar Pak Wayan sambil melongokkan separuh badannya ke teras melalui jendela ukiran kayu di ruang tamu.

“iya.. sebentar lagi Pak Yan... tadi pagi Bli Nyoman mengajariku membuat patung... aku penasaran, sepertinya gampang dan menyenangkan... aku harus bisa buat mahakarya seperti Bli...” Luhde menjawab sambil senyum-senyum sendiri melihat seonggok kayu albesia di genggamannya... badannya tak bergeming tetap terduduk di lantai abu-abu teras yang mulai terasa dingin di kakinya.

“memangnya apa yang kaubuat?... patung kodok ya?” gurau pak Yan

“hahaha... sebenarnya ini kura-kura... tapi kalau kelihatan seperti kodok ya lumayanlah” celetuk Luhde sambil tetap asik dengan alat pahatnya.

---o0o---

Dua tahun telah beranjak sejak waktu itu, Luhde telah kembali khusuk dalam kehidupan Metropolitan... desa Susut Bangli dan Pak Wayan tampaknya sudah jauh dibelakang. Patung kayu kura-kura nan mungil ditinggalkan tergantung pada pohon beringin di dekat Pura keluarga, disamping rumah sederhana Pak Yan.
Sejak meninggalkan rumah Pak Yan dua tahun lalu, Luhde menitipkan patung kura-kura mungilnya pada Pak Yan... waktu itu Luhde berpesan “Pak Yan, kura-kura ini lambang semangat dan kesadaran saya... kalau tidak ada kura-kura ini jiwa saya hampa, semangat saya kering, saya tak punya cinta lagi untuk dicurahkan... saya titipkan disini saja, kelak kesinilah saya akan pulang”, dan waktu itu Pak Yan hanya menjawab dengan senyuman penuh kasih sayang.

Sejak hari itu semangat Luhde berkobar-kobar, kura-kura yang dibuatnya dengan jiwa itu adalah curahan hatinya, kura-kura itu menjadi sugestinya untuk mencapai ketenangan dan kepenuhan batinnya. Setiap bulan Luhde menyempatkan menelpon pak Wayan menanyakan kura-kuranya. Jawaban Pak Wayan selama dua tahun ini hampir selalu sama... kata beliau “Luh, kura-kuramu baik-baik saja dan semakin hari tampak semakin indah...”

Seperti biasa di suatu sore, ditengah keruwetan pekerjaan Luhde di perusahaan konstruksi di Metropolitan, kadang hatinya lelah, pikirannya penat menghadapi manusia-manusia penuh konflik dan kepentingan.. satu hal yang mungkin bisa menghiburnya... diraihnya telepon dari dalam tasnya...
“Om Swatiastu Pak Yan....”
“Om Swastiastu Luhde... apa khabarmu?”, sambut pak Yan diseberang telepon
“Baik pak Yan... apa kabar Komang dan ibu... sehat semua kan?” balas Luhde
“Semua baik Luh termasuk kura-kuramu... Komang naik kelas 4 nilainya lumayan bagus, pekerjaanmu lancar Luh?” tanya Pak Yan.
“hahaha Pak Yan tau saja saya mau tanyakan si kura-kura... masalah pekerjaan ya beginilah Pak Yan, saya hanya jalani dengan tenang, berusaha melepaskan jauh-jauh segala kekhawatiran... saya dapat semangat ekstra dari si kura-kura... rasanya pahatan kura-kura itu jadi jetpump menghempaskan energi Sang Hyang Widhi ke tubuh dan jiwaku”
“Baik sekali kalau Luhde bisa menjaga kesadaran dan ketenangan, pertahankan... sang Hyang Widhi tak pernah putus mengirimmu kekuatan... percayalah seperti itu.. kapan Luhde pulang ke Bangli... ibumu dan Komang sudah kangen... nasi campur juga sudah menunggu...? kata Pak Yan dibarengi tawanya yang renyah..
“Akhir bulan ini Pak Yan.. tunggu Luhde ya... oke kalo begitu pak Yan, sampe ketemu... Swastiastu..”
“Sampe ketemu Luh, Swastiastu..”

---o0o---

pesawat Garuda Indonesia dengan rute Jakarta-Denpasar mendarat di Ngurah Rai tepat pukul 15.40 WITA. Bli Nyoman keponakan Pak Wayan tampaknya sudah cukup lama menunggu mendaratnya pesawat yang ditumpangi Luhde. Setelah hampir setengah jam menunggu bagasi akhirnya mereka telah berada pada jalur menuju Bangli.. tujuan tepatnya ialah 10 km arah Barat kota Bangli, desa dimana pak Wayan dan keluarga mungilnya tinggal.

Hari sudah petang ketika mobil Bli Nyoman memasuki pelataran rumah Pak Wayan yang terbilang luas. Suara mobil Bli Nyoman tampaknya menghamburkan seisi rumah untuk bergegas keluar menyambut Luhde... Pak Wayan dan istrinya serta si kecil Komang.

Gandengan tangan mungil Komang dan loncatan-loncatannya yang ceria menuntun Luhde menuju teras dan langsung disambut pelukan bu Yan serta tepukan hangat Pak Yan di punggung Luhde.
Sembari melangkah memasuki ruang tamu, tanpa sadar sudut mata Luhde menatap keganjilan di Pura keluarga yang berada di halaman samping rumah... sekejap Luhde berhenti melangkah dan tertegun... dalam kebingungannya Luhde bertanya lirih
“Pak Yan kemana pohon beringinnya?”
Pak Wayan menghela nafas pendek dan akhirnya bercerita, “Luh tiga bulan sejak kepulanganmu dari sini waktu itu, cuaca menjadi kurang baik.. angin kencang dan petir menyambar-nyambar mematahkan sebagian besar ranting pohon beringin... dan demi keamanan akhirnya semua pohon beringin dipotong... lihatlah disana sudah ada pohon beringin yang baru meski masih kecil...”
“kura-kuraku?” sahut Luhde...
Sejenak semua hening.. Pak Yan dan Bu Yan saling bertatapan memendam kebingungan dan kesedihan... akhirnya Bu Yan membuka suara..
“Luhde, kura-kuramu sudah kami cari pada saat kejadian itu, bahkan orang yang membereskan beringin yang tumbang itu pun sudah ikut mencari semua... kura-kuramu tidak ditemukan Luh..”

semua terasa berdengung di telinga Luhde... kata-kata Bu Yan yang agak terbata-bata lenyap dalam kekalutan hatinya... airmatanya mengalir, tangannya mulai dingin gemetar..
“kenapa... kenapa Pak Yan selalu bilang kura-kuraku baik-baik saja”... suara Luhde lirih bergetar
“kura-kuramu memang baik-baik saja di suatu tempat yang kita tidak tahu Luh... percayalah itu.. lihatlah selama ini Luhde semakin kuat dan tenang... Luh.. nyata atau tidak nyata kura-kura itu memang ada di hatimu dan hatimu yang telah sepenuh jiwa membentuk kura-kura itu menjadikan kura-kuramu mengirimkan kekuatan padamu... semua kekuatan itu berasal dari Sang Hyang Widhi, suatu saat kau akan mengerti bahwa hanya dengan memiliki kura-kuramu dalam hati saja itu sudah cukup bisa membuatmu tegar dan dipenuhi energi Ilahi...” jelas Pak Yan dengan tenang.
Luhde kian terisak, dalam isakannya dia berkata.. “Pak Yan... saya belum siap tanpa kura-kura itu..” Pak Wayan kembali menghela nafas sebelum akhirnya berkata lagi “ Luh... selama 1 tahun lebih kura-kura itu sudah tak ada lagi wujudnya, dan Luhde baik-baik saja bukan?.. bahkan jauh lebih baik dari yang sebelumnya... engkau sendirilah yang telah mewujudi patung kura-kuramu... jika hatimu belum siap... teruslah memberi wujud bagi curahan perasaanmu itu, puaskanlah hatimu Luh... Sang Hyang Widhi penuh kasih... pahatan kura-kura itu hanyalah katalis, sebenarnya kekuatan itu telah ada padamu sejak dulu....” Luhde berusaha menghentikan isakannya dan memaksakan diri menenangkan batinnya... “biarkan saya sendirian... saya ingin sembahyang di Pura” lanjut Luhde sambil masih mengusap air matanya...
Tanpa kata-kata lagi Pak Yan, Bu Yan, Bli Nyoman dan Komang yang sedari tadi duduk saja dengan berkaca-kaca masuk ke dalam rumah... mereka menatap haru dan membiarkan Luhde sendirian berjalan gamang menuju Pura.


Jakarta, 22 Juni 2011
Written by: Cicillia Rosari M (Luh Made)

June 6, 2011

Naif

Betapa naifnya aku
selalu pilu mengharu biru
menginjak habis kesadaranku
membuat malu semua Guruku

Harusnya aku tak berhenti bernafas
menghisap dalam-dalam kebahagiaan
menghembuskan kuat-kuat kesesakan

Mengembalikan pikiran pada kesadaran
dan melihat betapa bodohnya semua kecemasan

Astungkara

Cara Terindah

Kadang ingin kutanya padaNya
Dari apa hati ini dibuat?
kenapa tipis seperti kertas? rapuh seperti gelas?

Lalu.. tidakkah mereka diberitahu?,
mengira sekeras baja, setegar menara

pandai besi yang bijaksana menyulutku ke dalam bara
panglima bersahaja menggempurku dengan meriam

s’muanya tak sedikitpun keluar dari ego
tidakkah perlu beristirahat dari hingar bingarnya
sedikit menilik kehidupan lain yang bukan dirinya

mungkin takdirku bila kesedihan adalah darahku
biarkanlah ku sedikit berbagi untukmu
cara terindah meluluh leburkanku

lipat dan robeklah saja tanpa perlu gusar
aku hanyalah selembar kertas
benturkan atau jatuhkan perlahan
sudah pasti...
gelas anggurmu ini hancur berantakan

May 27, 2011

Menggantung Rindu

kalau aku rindu
....
aku nyalakan dupa
kudendangkan mantra-mantra
kututup kedua mata
bersimpuh pasrah menghadapNya
lalu....
aku hanya bernafas
melampiaskan kerinduan

Sang Hyang Widhi
kugantung rinduku padaMu
agar tak berat lagi pundakku
semoga rinduku terbaca
semoga rinduku tersampaikan

Sang Hyang Widhi
hanya Engkaulah sumber ketenanganku

Sarve bhadraani pashyantu
Maakaschit duhkha bhaag bhavet
Om Shanti Shanti Shanti Om

May 22, 2011

Anak pada Bapa


aku tersungkur di kakiMu Bapa...
ternyata tak kuasa tak meminta...
aku penuh kelemahan
kadang salah perhitungan

sangkaku sanggup tak meminta
tapi aku tetap anak..
dan Engkau tetap Bapa
Engkau mengasihiku
tak biarkanku tak meminta padaMu

Kau sentuh titik lemahku
dan buatku berlutut padaMu
Bapa... pada akhirnya ku meminta
abadikan dia bersamaku
ada maupun tiada
nyata ataupun tak nyata
rasa dengan rasa
jiwa dengan jiwa
kasih tak terbelenggu dunia
cinta tak terbelenggu raga

Bapa, pertimbangkan pikirku
sperti Kau buat ini terlintas dihatiku

Kau satu-satunya harapan
yang kan membendung air mata
bila hati dan pikirku tlah kalut membiru

May 20, 2011

Gerhana

Gerhana...
Sesaat matahariku hilang
tiba-tiba dan begitu saja

Aku sesak..
tenggorokanku kering tercekat
udara berhenti mengaliri darahku
menghentikan detak jantungku

Aku histeris tak kuasa
Lemas sudah sekujur raga
Jiwa menangispun tampaknya sia-sia

Tak ada yang bisa mengembalikan waktu

Harapan kosong dalam kegamanganku

Cepatlah waktu berlalu,
Kembalikan matahariku..

Bapaku yang bertahta pada Semesta...
Sang Hyang Widi Wasa yang kupuja...
Para Santo dan Santa...
Para Dewa dan Dewi...
Biarkanlah matahariku bersinar lagi
Menghidupi butir-butir jiwaku.
Kabulkanlah doaku...

(C) Mahendraswari-200511

May 3, 2011

Ajari Aku Berdoa


Aku juga ingin bisa berdoa
bersimpuh memujaNya
dan mengucap mantra-mantra

menggaungan namaNya di dalam diri
dan di dalam semesta

menghantarkan wangi kembang dan dupa
ke pelataran hatiNya

hanya cinta untukNya
dan cinta untuk ciptaanNya

Ajari aku berdoa
tanpa membuat permintaan
tanpa menuntut imbalan
Astungkara

April 27, 2011

Sore Bersama Guru

Di suatu sore yang hangat, Guru mengajakku berjalan mengelilingi taman. Kami berjalan perlahan sambil membebaskan pandangan dan pendengaran...

Aku menunggu... tapi tak satupun kata meluncur dariNya.

Kami tetap berjalan seiring, menyamakan langkah dengan ringan.
Sayup kudengar nafasNya yang begitu teratur, .........tanpa sadar kuikuti iramaNya.

Masih tak ada kata-kata, meski terkadang Dia melirikku dengan senyuman.
Banyak yang datang dan pergi di otakku, pikiranku mulai penuh dengan gambaran rumit kehidupan.
Aku berusaha melenyapkan... kugantikan dengan heningnya Guruku, dengan sayup nafas Guruku, dan dengan nada berat dari nafasku sendiri...

Perlahan aku menyentuh kemerdekaan, mencapai pikiran hening dan damai.
Suara langkah, suara angin, suara nafas, suara burung, suara air, suara keramaian anak-anak bermain.. menghipnotisku keluar dari segala kerumitan.

Tapi hanya sesaat

Menit-menit berikutnya aku telah kembali dalam kesadaran yang membiru.
Kepalaku kembali penuh kesedihan di masa lalu, kekhawatiran di masa datang.
Begitu banyak manusia datang dan pergi dari pikiranku, perang antara ego mulai terjadi lagi... pikiranku mulai bekerja keras mencari pembenaran atas segala tindakanku... lelahnya aku... aku sudah lupa bahwa aku sedang menyamakan nafas dengan Guruku.

Aku berusaha keras lagi menyingkirkan gambaran-gambaran yang bermunculan di kepala... kutajamkan lagi pendengaran, memfokuskan pandangan pada keindahan sekitar.

Kulirik Guruku, rupanya tanpa sadar aku sudah berjalan sedikit didepan..
Aku kembali menantiNya, aku ingin disisiNya, mendengar lagi nafasNya, menyamakan lagi dengan langkahNya...

Guru menggandeng tanganku, tapi tetap diam, kami telah sampai disisi lain taman... penuh dengan bunga dan rumput, kolam dengan pancuran bambu, pohon besar yang teduh, dan sinar jingga sang surya yang mulai meredup.

Kami berjalan tenang, energi hangat kurasakan dari genggaman tangan Guruku... mengalir ke tanganku dan akhirnya memenuhi seluruh rongga dadaku dan mulai menyebar ke seluruh penjuru tubuhku...

Aku kembali dalam ketenangan, kekosongan, kedamaian, kenyamanan... aku hanya mendengar alam, mendengar langkah kaki kami, mendengar irama nafas....

Aku manusia yang bahagia, aku manusia yang dikasihi, aku manusia yang terbebas dari belenggu duniawi, aku manusia yang menjalani hidup pada saat ini.

Hingga matahari hampir tenggelam, aku baru menyadari betapa dalam yang Guru ajarkan hari ini.
Jesus Guruku... tlah habis juga kataku.
Deo Gratias.

March 13, 2011

Merangkai Karma

Yin Yang,
hitam putih.

Siapa yang tak hitam?
Siapa yang tak putih?
Angkatlah tangan,
biar dunia melihat!

Manusia itu unik.
Diberi kesadaran dan kelengahan,
kekuatan dan kelemahan,
kelebihan dan keterbatasan,
kecerdikan dan kebodohan.

Kita lihat kan..?
Inilah kenyataan,
maka terimalah kenyataan.
Memahami setiap karakter sebagai ciptaan.
Tak perlu hinaan atau cercaan.

Saat kita bisa melihat diri kita dalam orang lain, dan
orang lain dalam diri kita...
saat itulah kata munafik akan lenyap dari muka bumi.
Saat semua mampu berpikir, mengadili sesama adalah mengadili diri sendiri.

Segala makhluk menjalankan perannya,
sesuai kehendakNya.
Berikan saja restu atas satu bagi yang lainnya.
Berikan doa...
supaya semua makhluk dapat merangkai karmanya,
sembari tetap menapak pada dharma...
sesuai narasiNya.

March 11, 2011

Rindu

Aku rindu,
kian menebal...
Menggerus raga dan sukma.

Tak kuasa membendung,
Tak kuasa mengelak,
Getarannya mendamaikan,
Gelombangnya menyembuhkan,
Mengikis keragu-raguan.

duh Gusti
rinduku tlah membasahi bumi,
bergema di angkasa jagad raya

Rindu ini mengajarkan keikhlasan,
Rindu ini mengajarkan kepasrahan,
Rindu ini mengajarkan ketulusan,
Rindu ini mengajarkan pengendalian.
Rindu ini mengajarkan kesetiaan.
Menghanyutkan ego, amarah, prasangka, iri, pamrih, dan tak percaya.

Sang Hyang Widi
rindu ini milikMu...
karena rindu ini dariMu...

Semoga segala makhluk berbahagia.

March 6, 2011

Pencarian

Masih mencari,
tuk temui jalan.
Jalan kebenaran sejati.
Kebenaran tak terbatas.

Seketika gelapku jadi terang,
saat kusebut namaMu.... "Guru".

Pencarian panjang tiada akhir,
asalkan Kau menemaniku... Guru.

Bulan kini bersembunyi,
Bintang tak lagi bersinar,
kabut pagi tlah berlalu.
Kutatap Sang Surya di ufuk Timur,
kuserap cahayanya merasuk ke jiwa,
kutarik dan kuhela udara dari Sang Dewa.
Aku disini..., merasa indah dan bebas,
Terbungkus damai tak bertepi.

February 24, 2011

Bias

Guru
Aku terbias!

Guru
Hasrat hati begitu kuat.
Kutemukan damai dan ikhlas
Pasrah dan percaya
Gerakan yang seirama
Pikiran yang senada
Jiwa ini serasa temukan pasangannya

Guru
Kuharap Engkau yang mengisi biasku
Kuharap bukan semu dari titik lelahku.

Guru
Bagaimana kuhadapi panggilanku?
Kaukah yang menantiku?

Mungkinkah ku miliki keduanya
Demi raga yang masih terikat
Demi jiwa yang temukan hasrat

Bila ini membuatku bercahaya
Jangan padamkan lagi
Kunantikan restuMu

February 23, 2011

Tenggelam

Apa aku tenggelam?
Sepertinya aku hanya menyelam
Mencari tau seberapa dalam..
tapi dasar tak pernah kutemukan.

January 31, 2011

Kawula Nyuwun

Masih....menyusuri lorong waktu,
lagi-lagi kutinggalkan coretan,
dan lagi-lagi keluhan.

Gusti,
rasa ini datang lagi... kekhawatiran, penat, resah, takut, gelisah...

Gusti,
jangan berpaling saat aku mulai menyebalkan atau membingungkan.

aku minta ini tapi itu, ingin begini asalkan begitu... [sighs]... apalagi yang konslet dari otakku.... bisakah aku berdamai selalu dengan pikiranku....?

Gusti,
ampun dipundhut... jangan diambil dulu suar-suar hidupku, daya-daya hidupku,... aku belum pernah kehilangan, dan belum siap kehilangan...

aku ingin keabadian untuk orang-orang terkasih, biar serat hidupku tak jadi layu.
aku ingin direstui mencintai, biar kepenuhan mengisi rongga-rongga nyawaku.

Gusti,
kadang aku ingin berhenti belajar, aku lelah dan selalu tersudut rasa bersalah...
Keparenga kawula nyuwun...
pencerahan kang utami,
damai sejahtera yang tak henti,
kasih berkobar tanpa tepi,
lepas keterikatan duniawi.
Astungkara...

January 8, 2011

883. Dominus Illuminatio Mea

IN the hour of death, after this life's whim,
When the heart beats low, and the eyes grow dim,
And pain has exhausted every limb—
The lover of the Lord shall trust in Him.

When the will has forgotten the lifelong aim,
And the mind can only disgrace its fame,
And a man is uncertain of his own name—
The power of the Lord shall fill this frame.

When the last sigh is heaved, and the last tear shed,
And the coffin is waiting beside the bed,
And the widow and child forsake the dead—
The angel of the Lord shall lift this head.

For even the purest delight may pall,
And power must fail, and the pride must fall,
And the love of the dearest friends grow small—
But the glory of the Lord is all in all.


Anonymous. c. 19th Cent.
Arthur Quiller-Couch, ed. 1919. The Oxford Book of English Verse: 1250–1900

January 4, 2011

Menyederhanakan Hidup

Ternyata buah dari mandi plus cuci rambut sore ini adalah “pencerahan kamar mandi” hehehehe… kalo boleh aku sebut begitu…
Di pikiranku seperti ada aku yang lain yang sedang bicara tentang menyederhanakan hidup…., dan rumusannya seperti ini :

1. Jika ingin jiwamu bahagia, jangan pernah mengingkari hati kecil, jangan memaksa diri untuk berbuat yang melawan keinginan hati…. Ikuti saja apapun itu sepanjang membuat hatimu lebih seimbang, damai, penuh dan stabil.

2. Jangan memaksakan bertindak atau mengambil keputusan melulu dari otak atau karena kebiasaan/aturan yang banyak orang melakukan… jangan terseret arus kebiasaan… kita adalah individu yang merdeka dan punya keputusan yang merdeka… Ikuti saja kehendak alam… pada dasarnya kita sudah dibekali dengan alarm yang bekerja secara simultan… yaitu antara pikiran dan perasaan… saat kita sanggup menjaga kesadaran tertinggi alarm kita akan bekerja otomatis… dia akan memberi sign pada kita… kapan saatnya kita melakukan atau tidak melakukan… bicara atau tidak bicara… “bacalah alam cari tahu dari jiwa yang terdalam!”

3. Jangan antipati pada seseorang apapun energi yang dia keluarkan, anggaplah dia merupakan bagian dari alam yang sedang memainkan perannya… hadapi orang-orang seperti itu dengan jiwa yang mendarat (sadar), bukan dengan jiwa melayang yang mudah terpancing emosi, gengsi, dan rasa haus ingin dihormati…. Tetap jadi diri pribadi yang sederhana dan mudah diterima (afirmasikan seperti itu)….

4. Jangan menghadapi masalah berat dengan memfokuskan bahwa itu adalah masalah… afirmasikan bahwa masalah itu akan selesai dengan baik tanpa membebani kita atau siapapun juga… minta bantuan pada alam semesta supaya bersatu mewujudkan penyelesaian masalah.

5. Tebarkan cinta untuk semesta, berikan lebih banyak cinta pada yang mencinta….

Senangnya berbagi…. semoga ada manfaatnya… dan bisa menyembuhkan… meskipun kadang dokter justru tak bisa menyembuhkan diri sendiri… hihihihi… peace and love…

Mahendraswari © 04012011