November 8, 2013

Cermin

Seperti cermin....
Pikiranmu dan pikiranku..
Rasamu dan rasaku....

Seperti jiwa dibelah dua....
Apa belahan jiwa?.... 

Hhhmmmm... tidak cocok
Bukan itu sebutannya... 
Bukan terbelah

Waktu yang menunjukkan
Ada atau tidak, 
Jauh atau dekat,
Diam atau bicara,
Pura-pura atau mengakui
Kamu tetap didalam aku
Aku tetap didalam kamu

Kadang cermin itu buram
Tertutup kekhawatiran dan ketakutan
Karna kamu melihat aku yang seperti kamu
Atau sebaliknya....

Itulah aku bagimu, kamu bagiku

Aku tak pernah tak ada...
Hanya kamu mengaburkannya
Atau sebaliknya....

Aku sudah mulai terbiasa kamu ada
Waktu terus membuktikannya
Memaksaku pada akhirnya untuk mengakuinya

Karena kita satu jiwa, dua raga, dua karma
ada satu cara jika kita rindu menyatukannya
nyalakan dupa
bawalah aku ke dalam doa....



August 26, 2013

Equanimity

equanimity...
means tenang... seimbang...

Keseimbangan batin artinya pikiran yang tenang seimbang

Tenang seimbang adalah ketika pikiran tidak dikuasai nafsu keinginan
ataupun nafsu kebencian 

Tenang seimbang adalah 
tidak menginginkan perasaan yang tidak menyenangkan untuk segera berakhir
dan tidak menginginkan perasaan yang menyenangkan untuk terus berlangsung

wayang yang manut, legowo, pasrah pada Sang Dalang
sekalipun diberi kemampuan membantah, protes, ora trimo
sekali lagi... iku kabeh mung pilihan

aku hanya wayang
aku memperjuangkan equanimity
dalam keheningan

Namaste'

June 27, 2013

Zero Point

banyak hal harus kubenahi
tentang diri ini

akan kuajak ragaku berdiskusi
'kan kudengar bila bernegosiasi

apa sebabnya?
sebaiknya kita bekerjasama!

apa yang belum kupenuhi?
hingga raga tak bergeming pada niatan hati

duh Hyang Prama Kawi
kembalikan arah pekertiku padaMu
Engkaulah kebutuhan terbesarku
sumber kekuatan pikiranku

bawa aku kembali dalam menit-menit kemesraan bersamaMu
bertekun dalam bhakti
meniatkan puji dalam secawan canang sari
menghaturkan puja dengan dupa yang wangi

aku tlah lupa diri
menjual waktuku demi  duniawi
sebaik apapun hasilnya...
sebenarnya aku tak bahagia
terlebih saat semua terasa sulit...
semua logika berpikirku kujual untuk membalikkan keadaan
aku mulai mentoleransi pikiranku, bahwa Kau akan sabar dan menungguku kembali

egonya aku
bahkan saat aku rindu, aku ingin yang kurindu segera dihadapanku
tapi saat Kau merindukaku, dalih-dalih duniawi malahan smakin menguatkan alasanku

ijinkan aku kembali,
karena satu titik pusat dalam hati ini inginkanMu
my zero point


April 25, 2013

Petruk dadi Ratu

Banyak yang mengartikan lakon Petruk Dadi ratu sebagai sebuah simbol ketidak becusan seorang pemimpin, atau seorang yang tidak layak menjadi pemimpin dijadikan pemimpin wal hasil adalah kekacauan. Bisa juga di artikan sebagai khayalan yang berlebih, lha masak Petruk pengen jadi pemimpin ?, jongos mau jadi Raja.
 
Meski sebenarnya hal itu tidaklah tepat, karena pada dasarnya Petruk adalah bukan manusia biasa, Petruk merupakan cerminan dari salah satu pribadi Semar. Kesaktian Petruk melebihi kesaktian para Dewa dan Penguasa mayapada. Lantas apa yang mendasari kemudian keluarnya lakon Petruk Dadi ratu ?, jawabannya adalah kekacauan dan ketidakseimbangan.

Dalam dunia pewayangan, saat gonjang-ganjing sudah sampai pada taraf yang sangat tidak wajar, para punakawan—Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong—mulai membangkang. Puncak pembangkangan terjadi ketika Petruk melabrak Kahyangan Jonggring Saloko (istana para penguasa), mengobrak-abrik dan mendekonstruksi tatanan yang selama ini dipakai para penguasa melakukan manipulasi.

Arjuna, sang sang pimpinan yang biasanya dilayani punakawan, dipaksa mematuhi titah Petruk, sang raja baru. Saat itulah Petruk membuka seluruh aib para penguasa. Yang perlu disingkapi dalam lakon ini adalah bukan khayalan seperti versi umum, melainkan adalah Petruk sebagai pemimpin Revolusi yang menjungkir balikan tatanan khayangan yang pada saat itu memang sudah sangat kacau. Petruk merevolusi semua tatanan agar kembali pada tempat yang semestinya.

Dan itu hanya dilakukan oleh Petruk dalam 1 malam, hal ini menyiratkan bahwa Petruk adalah pribadi yang sadar akan peranannya, setelah semua baik, semua berjalan normal, maka Petruk kembali kepada peranan awalnya menjadi seorang pengabdi.

Episode Petruk Dadi Ratu Ini ditutup dengan turunnya Semar mengatasi kondisi.
Kembali Petruk mengayunkan “pecok”nya membelah kayu bakar. Sambil bersenandung tembang pangkur: “Mingkar-mingkuring angkoro, akarono karanan mardisiwi, sinawung resmining kidung, sinubo sinukarto….” 
………Petruk tersenyum mengingat peristiwa itu. “Ah… hanya Hyang Widi yang perlu tahu apa isi hatiku, selain Dia aku tak perduli”

Waktu Petruk menjadi raja, banyak orang menertawakannya. Menurut banyak orang, Petruk dadi Ratu itu hanyalah lakon impian, lakon lamunan rakyat bawahan yang tak dapat memperbaiki keadaan. Mana mungkin rakyat miskin dan bodoh menjadi raja kaya dan bijaksana? Ada pula yang bilang, lakon itu adalah pasemon (sindiran) tentang kere munggah mbale (gelandangan yang menjadi kaya dan lupa daratan). Lainnya lagi mengejek, lakon itu hanyalah dagelan untuk menghibur orang miskin. Dan sebagian lagi berpendapat, Petruk dadi ratu itu kisah aji mumpung (kebetulan), di mana orang miskin menggunakan kesempatan dalam kesempitan. 

Di zaman Belanda dulu, Petruk dadi Ratu juga hanya dipandang sebagai guyonan. Petruk disebut sebagai Opperbevelhebber, jendral berkuasa, yang memerintah semua belantara. Sebagai penguasa, Petruk menjungkirbalikkan pranatan. Di negaranya, Lojitengara, menghisab candu dihalalkan, main judi dinaikkan derajatnya menjadi sport utama, yang dipopulerkan bagi semua warga negara. 


Dari dulu sampai sekarang, entah orang Jawa ataupun Belanda, mereka semua ternyata tidak mengerti wayang. Mereka memikirkan wayang secara wadag (fisik). "Pantas, jika mereka menganggap saya, hamba sahaya yang kecil dan miskin ini, menggunakan kesempatan, berpestaria menjadi raja. Petruk dadi Ratu itu bukan lakonnya orang bodoh jadi raja, atau lakonnya orang kecil beraji mumpung, tapi lakon mencoke wahyu marang kawula (hinggapnya wahyu pada diri rakyat)", kata Petruk. 


Petruk mengenang, bagaimana ia sampai menjadi raja. Alkisah, tuannya, Abimanyu menderita sakit. Abimanyu adalah perantara, yang nantinya akan mewariskan dampar (tahta) Palasara, pendiri Astina, kepada Parikesit, anaknya. Bersamaan dengan sakitnya, pergilah ketiga wahyu yang dimilikinya, yakni wahyu Maningrat, yang menyebarkan benih keratuan, wahyu Cakraningrat, yang menjaga keberadaannya sebagai ratu, dan wahyu Widayat, yang melestarikan hidupnya sebagai ratu. 


Ketiga wahyu itu kemudian hinggap pada diri Petruk. Ia pun akhirnya dapat menjadi raja di negara yang dinamainya Lojitengara. Ia menggelari dirinya Prabu Wel-Geduwel Beh!. Untuk kukuh menjadi raja, ternyata ia membutuhkan damper kerajaan Astina, warisan Palasara. Petruk memerintahkan kepada kedua patihnya, Bayutinaya—titisan Anoman—dan Wisandhanu—titisan Wisanggeni, anak Arjuna--, untuk mencuri tahta Palasara itu.
Kedua utusan itu berhasil membawa pulang tahta tersebut. Prabu Wel-geduwel Beh mencoba duduk di atasnya. Begitu duduk, ia pun terjungkal. Ia coba lagi berulangkali. Sang Prabu akhirnya menyerah dan memperoleh bisikan melalui penasihat kerajaan bahwa supaya tidak terjungkal, ia harus memperoleh boneka yang bisa dililing (dilihat dan ditimang). Petruk kembali menyuruh kedua utusannya, Bayutinaya dan Wisandhanu untuk mencari boneka yang dimaksud. Tanpa memperoleh rintangan yang berarti, kedua utusannya berhasil membawa boneka itu yang tak lain adalah Abimanyu yang sedang sakit.
Ketika dipangku Prabu Wel-Geduwel Beh, Abimanyu sembuh. Dan Abimanyu berkata, "Kamu takkan bisa menduduki tahta itu, jika kamu tidak memangku aku".
"Pada saat itulah saya mengalami, bahwa saya ini hanyalah kawula. Dan saya sadar, saya akan tetap tinggal sebagai kawula, tak mungkinlah saya bisa duduk sebagai raja. Tugas saya hanyalah memangku raja, agar ia dapat menduduki tahtanya. Tuanku Abimanyu dapat duduk di tahta raja karena saya memangkunya. Jadi raja itu takkan bisa menjadi raja, kalau tidak dipangku kawula, rakyat jelata seperti saya ini", kata Petruk sambil memandang tanah datar di hadapannya. 


Dulu Petruk tidak tahu, mengapa ketiga wahyu itu pergi meninggalkan tuannya dan hinggap padanya. Sekarang ia paham, wahyu sebenarnya hanya pergi untuk sementara. Ia pergi hanya untuk nitik, menengok siapakah yang memangku orang yang kedunungan (dihinggapi) wahyu. Wahyu itu tidak asal hinggap. Dia akan hinggap pada orang yang layak dihinggapi, dan orang yang layak itu haruslah orang yang dipangku Petruk, sang rakyat dan sang kawula ini. Maka setelah tahu, bahwa Petruklah yang memangku Abimanyu, wahyu itupun berhenti menitik dan ketiganya kembali kapada Abimanyu. 


Di hadapan tanah datar itu, pikiran Petruk melayang lagi. Ia sedih mengingat gugurnya Abimanyu dalam Perang Bharata Yudha. Petruklah yang menggendong jenazah Abimanyu. Petruk pula yang membakar mayat Abimanyu menuju alam Mokshaya. "Saya ini hanyalah rakyat. Betapa pun hinanya diri saya, hanya saya yang bisa mengantarkan Sang Raja menuju alam kesempurnaannya. Sampai ke Moksha pun, raja itu bergantung pada kawula. Hanya rakyatlah yang dapat menyempurnakan hidup raja, bahkan ketika ia berhadapan dengan akhiratnya", ujar Petruk.


"Memang, kawula, sang rakyat ini ada sepanjang zaman. Sementara raja itu tidaklah abadi. Ia bertahta hanya dalam masa tertentu. Ketika masa itu lewat, ia harus turun atau binasa. Sementara rakyat terus ada. Buktinya, saya ini ada di sepanjang zaman. Menjadi punakawan, hamba yang menemani penguasa dari masa ke masa, sampai hari ini. Kawula iku ana tanpa wates, ratu kuwi anane mung winates ( rakyat itu ada tanpa batas, sedangkan raja itu ada secara terbatas)", kata Petruk. 


Petruk makin menyadari, siapa diri rakyat itu sebenarnya. Hanyalah rakyat yang dapat membantu penguasa untuk menuliskan sejarahnya. "Maka seharusnya penguasa itu menghargai kawula. Penguasa itu harus berkorban demi kawula, tidak malah ngrayah uripe kawula (menjarah hidup rakyat). Kwasa iku kudu ana lelabuhane (kuasa itu harus mau berkorban). Kuasa itu bahkan hanyalah sarana buat lelabuhan, kendati ia masih berkuasa, ia tidak akan di-petung (dianggap) oleh rakyat. Raja itu bukan raja lagi , kalau sudah ditinggal kawula. Siapa yang dapat memangkunya, agar ia bisa menduduki tahta, kalau bukan rakyat? Raja yang tidak dipangku rakyat adalah raja yang koncatan (ditinggalkan) wahyu," kata Petruk.
Tapi Ki Petruk, mengapa banyak penguasa yang tak memperhatikan kawula,menginjak-injak dan menghina kawula, toh tetap dapat duduk di tahtanya? 


"Dalam pewayangan pun ada penguasa yang tak dipangku rakyat seperti saya. Dia adalah Dasamuka yang lalim. Dia adalah Duryudana yang serakah. Seperti halnya hanya ada satu tahta Palasara, demikian pula hanya ada satu tahta rakyat. Duryudana berkuasa, tapi tak pernah berhasil menduduki tahta Palasara. Banyak penguasa berkuasa, tapi mereka sebenarnya tidak bertahta di dampar yang sebenarnya, yakni dampar rakyat ini", jawab Petruk.
Tiba-tiba Petruk mendengar, tanah datar di hadapannya itu bersenandung. Makin lama semakin keras bahkan menjadi senandung Panitisastra: dulu tanah itu adalah hutan lebat yang bersinga. Singa bilang, kalau hutan tak kujaga tentu ia akan dibabat habis oleh manusia. Dan hutan bilang, kalau singa tak kunaungi dan pergi dariku, pasti ia akan ditangkap oleh manusia. Akhirnya singa dan hutan sama-sama binasa. Singa yang tak berhutan dibunuh manusia, hutan yang tak bersinga dibabat manusia…. "Raja dan rakyat harus wengku-winengku (saling memangku), rangkul-merangkul, seperti singa dan hutan, seperti Abimanyu dan Petruk", kata Ki petruk menyenandung tembang Panitisastra.

April 1, 2013

Carakan

Carakan harus dibaca sebagaimana kita membaca "Candra Sengkala", yaitu dimulai dari "Maga Bathanga".

Maga mbathang = Menempuh jalan kematian (nafsu) sebelum mengalami kematian fisik atau kematian seperti yang kita tahu dalam hukum biologi.
Perlu diketahui bahwa kata "maga" adalah kata Jawa Kuna yang berarti "musim", atau sebutan bagi bulan ketujuh (11 Januari - 11 Februari). Maga mbathang adalah pengkondisian diri untuk menjalani hidup semedi yang sebenarnya. Inilah kondisi untuk menghilangkan "dualitas" dalam persepsi kehidupan ini.

Padha jayanya = kekuatan dalam diri manusia dan di luarnya telah menyatu padu.

Dalam bahasa daratan Cina, Yin dan Yang telah jumbuh menjadi satu sehingga tak bisa lagi diekstrak unsur-unsurnya. Dalam bahasa Jawa, bhawana alit (kekuatan di dalam diri) dan bhawana ageng (kekuatan semesta) sama-sama berjaya, sinkron.

Dhata sawala = tiada lagi pertentangan antara unsur luar dan dalam, tiada lagi pertentangan unsur Yin dan Yang. Bhawana alit dan bhawana ageng berkolaborasi serasi.
Perlu diketahui bahwa dhata ialah kosa kata Jawa Kuna yang searti dengan dhatan yang maknanya "tanpa" atau "tiada". Sedangkan "sawala" bermakna pertentangan, pertikaian, atau perkosaan.

Hana caraka = muncullah caraka, atau lahirlah pesan atau kreasi.
Lahirnya alam semesta ini ya adanya proses Hanacaraka pada Sang Hidup atau Hyang Urip. Terjadinya kreasi dalam kehidupan ini ya karena adanya manusia-manusia yang menjalani proses Hanacaraka. Selama kita tidak mau menjalankan proses "mbathang" atau mematikan EGO, maka selamanya tak akan ada kreasi.


Keempat jurus Hanacaraka sebenarnya menyiratkan 4 tingkat alam kehidupan alam semesta yang tidak terbatas untuk insan manusia diatas bumi ini saja.
Secara ringkas / garis besarnya:

1. Hanacaraka – menyiratkan dasar kesunyataan alam semesta pada tingkat yang tertinggi (mendasar). “ADA’-nya Cipta, Rasa dan Karsa sebagai sumber Kekuasaan yang tertinggi. Alam Tritunggal (Ca, Ra, Ka) yang Maha Kuasa.

2. Datasawala – menyiratkan alam kehidupan pada tingkat Monad, Logos. (Atma?) yang berada diluar dimensi ruang dan waktu. Ke-Maha-Kuasa-an yang didasari oleh Cipta, Rasa dan Karsa yang ada pada setiap Logos / Monad mulai dilengkapi dengan ‘kehendak’ / ‘niat’ yang melahirkan “Ingsun”.

3. Padhajayanya – menyiratkan alam kehidupan yang merupakan ‘manifestasi’ dari ‘kehendak’ / ‘niat’ dari jajaran Ingsun (Higher Selves) kedalam alam yang multi dimensi melalui proses evolusi alam semesta beserta seluruh penghuninya. Disini terciptalah dimensi ruang dan waktu serta timbulnya ‘perbedaan’ (dualisme) antara ingsun dan Ingsun (kawula lan Gusti)

4. Magabathanga – menyiratkan alam kehidupan dimana ingsun dengan bimbingan Ingsun (Guru Sejati) dan bantuan Bayu Sejati (bayangan kuasa Allah) melaksanakan ‘misi’nya (karsa) yang timbul dari ‘niat’ untuk ‘meracut’ busana manusia di alam fisik (alam kematian / tidak kekal). Alam jiwa dan raga.

March 24, 2013

Dualisme


Selama masih hidup di “dalam” dunia ini, manusia tidak bisa bebas dari dualitas. Dualitas adalah the building blocks of life – batu bata yang diletakkan dengan posisi saling menyilang. Posisi yang menyilang itu justru memberi kekuatan pada Bangunan Kehidupan. Jika disusun rapi, Bangunan menjadi rapuh.

Dualitas Panas-Dingin, Suka-Duka, Tenang-Gelisah, Terang-Gelap, dan Dharma-Adharma memperkukuh bangunan kehidupan. Adalah sebuah kesalahan jika kita berkhayal untuk membangun kehidupan dengan salah satu pengalaman saja.

Kita tidak dapat membayangkan Bangunan Kehidupan yang bersifat singular – dengan satu macam pengalaman saja. Panas saja, atau Dingin saja. Tenang saja, atau Gelisah saja. Terang saja, atau Gelap saja, Dharma saja atau Adharma saja.

Acapkali kita mengaitkan perayaan-perayaan keagamaan kita dengan Kemenangan Dharma atas Adharma. Setiap agama memiliki hari-hari besar, dimana Kebenaran atau Kebajikan, Kebaikan – dirayakan sebagai Pemenang! Padahal Kemenangan itu sendiri menjadi berarti, karena adanya pihak yang kalah. Lagi-lagi Dualitas. Kemenangan tidak dapat berdiri sendiri tanpa Kekalahan.

Selama berabad-abad, warga Sri Lanka tidak mau merayakan Dipavali. Karena, hari itu terkait dengan kemenangan Rama atas Rahvana. Dan, Rahvana adalah raja mereka, raja Sri Lanka . Rama hanyalah seorang pendatang dari Daratan India. Seorang asing yang datang ke Sri Lanka untuk membunuh raja Sri Lanka. Patutkah hari itu dirayakan?

Belakang hari, Sri Lanka malah menggambarkan Rahvana sebagai seorang raja beragama Buddhis. Pun, ia menculik Sita karena merasa kasihan terhadapnya. Suami Sita, Rama, digambarkan sebagai seorang raja yang arogan, egois, sudi membuat isterinya sendiri ikut menderita demi arogansi dan egonya. Jika ia memang harus ke hutan untuk menjalani perintah ayah dan ibu-tirinya, kenapa ia membiarkan Sita untuk mengikutinya? Ia dapat saja “memerintahnya” untuk tidak ikut?

“Apakah Dharma itu, dan apakah Adharma?” Pertanyaan ini selalu menghantui setiap orang yang berpikir. Setiap orang yang mau mencari arti kehidupan, setiap orang yang bertanya “apa sih yang menjadi pondasi kehidupan ini”.....

Adakah segala sesuatu yang kuanggap baik itu adalah Dharma, dan segala sesuatu yang kuanggap buruk itu Adharma? Tetapi, anggapanku bisa berseberangan dengan anggapanmu, sebagaimana telah kita lihat dalam kisah diatas tentang Kemenangan Rama atas Rahvana.

Lalu, apa yang mesti menjadi tolok ukur bagi Dharma, dan apa pula yang menjadi tolok ukur bagi Adharma? Adakah “pengakuan dari masyarakat” dapat dijadikan tolok ukur? Bila jawabannya “ya”, maka kita memasuki wilayah mayoritas-minoritas. Pengakuan dari masyarakat yang mana? Yang mayoritas walaupun tidak sadar, atau minoritas yang lagi-lagi kita “anggap” sadar?

Duryodhana dalam sejarah Mahabharata, yang ditampilkan sebagai villain, juga memiliki banyak sisi terang. Demikian pula dengan Karna, dan Drona, dan lain-lainnya. Sementara itu, para Pandava yang ditampilkan sebagai pahlwan juga memiliki banyak sisi-sisi gelap. Yudhisthira adalah seorang penjudi. Bhima hanya otot, tanpa otak.....

Ah, tapi di Indonesia, Bhima justru menjadi pahlwan. Ia menjadi tokoh dalam kisah Dewaruci. Tanya kenapa? Karena, ia adalah menantu kita. Ia kawin dengan putri Melayu – Hadimba atau Arimbi. Kita berkepentingan untuk mengangkat derajat menantu kita. Bahkan, putra mereka, Gatotkaca, menjadi panutan kita karena kepahlawanannya.

Kepahlawanan Gatotkaca memang tidak disangkal oleh orang India. Tetapi tidak banyak kisah, tidak banyak cerita tentang Gatotkaca disana. Bahkan, hingga hari ini pun tidak ada anak India yang diberi nama Gatot. Itu adalah nama khas Melayu.

Kembali, apa sih Dharma itu dan apa sih Adharma itu?
Adakah teks-teks yang kita anggap suci dapat dijadikan patokan bagi Dharma dan Adharma? Adakah kesucian itu sendiri dapat dikaitkan dengan Dharma dan ketaksucian dengan Adharma?
Dalam Mahabharata, Bhishma menjelaskan Dharma sebagai “sesuatu yang mempersatukan, yang mengukuhkan” dan Adharma sebagai “sesuatu yang memecah-belah, melemahkan”.

Bagaimana seorang raja atau seorang pemimpin mesti menyikapi definisi tersebut? Apakah ia mesti memilih Dharma saja dan melepaskan Adharma?

Mempersatukan rakyat dan bangsa adalah Dharma seorang raja, seorang pemimpin. Tetapi, apakah memecah-belah musuh dan melemahkan mereka bukanlah Dharma-nya pula? Padahal, menurut Bhishma memecah-belah itu adalah Adharma. Melemahkan itu adalah Adharma.

Dharma bagi seseorang, dalam kapasitas tertentu – dapat menjadi Adharma bagi orang lain dalam kapasitas yang lain. Sebaliknya, Adharma bagi saya – bisa jadi menjadi Dharma bagi orang lain. Sebagai Taruna, sebagai siswa ilmu kemiliteran – membunuh tetap saja haram bagi saya. Tetapi, sebagai prajurit – membunuh musuh menjadi kewajiban saya.

Hari-Hari suci yang selama ini kita rayakan sebagai Hari Kemenangan Dharma atas Adharma, semestinya dirayakan untuk Memaknai Dharma dan Adharma. Dan, Proses Pemaknaan ini semestinya berjalan terus, dari hari ke hari. Setiap hari kita berhadapan dengan pilihan Dharma dan Adharma. Dan, Dharma kita hari ini, besok bisa berubah menjadi Adharma.

Dharma dan Adharma ada setiap saat, dalam setiap pengalaman hidup. Adalah Kemampuan untuk Memilah yang dibutuhkan oleh setiap Manusia yang ingin merayakan hidup ini. Kemampuan untuk memilah inilah Viveka, dan kemampuan ini pula yang akhirnya mengisi hidup kita dengan Ananda – atau Kebahagiaan Sejati.

Setiap saat kita berhadapan dengan Dharma dan Adharma. Setiap saat pula kita harus memilih Swadharma saya untuk saat ini apa? Apa yang “tepat” bagiku untuk kulakukan saat ini? Ilmu Ketepatan inilah yang mesti kita kuasai. Kemudian, setiap hari menjadi Perayaan. Kemudian, setiap hari Galungan, dan setiap hari Kuningan..... Perayaan berjalan terus!


#dualisme dharma-adharma
anand krisna

March 10, 2013

Woman



Every woman is a story
might not always have a happy ending

every story (woman) has a history
and your past story (woman) is always worth remembering

every woman is mystery to be solved
seperti puzzle seribu keping tanpa petunjuk gambar jadi

tapi sayang..
tak banyak laki-laki bisa menyelesaikannya

Setiap tulisan dan kalimat
kami tidak bicara tentang fakta yang ditangkap indera
kami bicara tentang hati… 
untuk hati...
tentang visi...
tentang masa yang sekalipun tak akan pernah datang dalam mimpi

tapi sayang…
lawan bicara tak pandai mengartikannya

And every woman is a journey
we are always right where we belong
hearts can guide us, hearts can blind us
still we carry one

pada akhirnya.. selalu.. 
masih disini berserakan
puzzle tak terselesaikan
sayang sekali
mereka hanya memakai satu kunci…
their smart brain...

they're come from Mars
maybe that's the reason.. haha
and we're from Earth ;)

setiap wanita adalah misteri yang berbeda
tak akan bisa diselesaikan dengan cara yang sama..

February 2, 2013

Canang Sari

(Cara Membuat Dan Kajian Filosofis)

”Canang sari inggih punika sarin kasucian kayun bhakti ring Hyang Widhi tunggal. Napkala ngaksara kahiwangan-kahiwangan”.- Canang sari yaitu inti dari pikiran dan niat yang suci sebagai tanda bhakti/hormat kepada Hyang Widhi ketika ada kekurangan saat sedang menuntut ilmu kerohanian (lontar Mpu Lutuk Alit).
Canang sari adalah suatu Upakāra /banten yang selalu menyertai atau melengkapi setiap sesajen/persembahan, segala Upakāra yang dipersiapkan belum disebut lengkap kalau tidak di lengkapi dengan canang sari, begitu pentingnya sebuah canang sari dalam suatu Upakāra /bebanten. Apakah sebenarnya makna yang terkandung dalam sebuah canang sari?.
Canang sari sebagai lambang angga sarira serta hidup dan kehidupan. Yaitu:
  1. Ceper.
    Ceper adalah sebagai alas dari sebuah canang, yang memiliki bentuk segi empat. Ceper adalah sebagai lambang angga-sarira (badan), empat sisi dari pada ceper sebagai lambang/nyasa dari Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, Panca Karmendriya. Keempat itulah yang membentuk terjadinya Angga-sarira (badan wadag) ini.
  2. Beras.
    Beras atau wija sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma , yang menjadikan badan ini bisa hidup, Beras/wija sebagai lambang benih, dalam setiap insan/kehidupan diawali oleh benih yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Ātma. Ceper sebagai lambang/nyasa angga-sarira/badan tiadalah gunanya tanpa kehadiran Sang Hyang Ātma . Tak ubahnya bagaikan benda mati, yang hanya menunggu kehancurannya. Maka dari itulah di atas sebuah ceper juga diisi dengan beras, sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma . Maka dari itulah hidup kita di belenggu oleh Citta dan Klesa, Ātma menimbulkan terjadinya Citta Angga-sarira (badan kasar) menimbulkan terjadinya klesa, itulah yang menyebabkan setiap umat manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya.
  3. Porosan.
    Sebuah Porosan terbuat dari daun sirih, kapur/pamor, dan jambe atau gambir sebagai lambang/nyasa Tri-Premana, Bayu, Sabda, dan Idep (pikiran, perkataan, dan perbuatan). Daun sirih sebagai lambang warna hitam sebagai nyasa Bhatara Visnu, dalam bentuk tri-premana sebagai lambang/nyasa dari Sabda (perkataan), Jambe/Gambir sebagai nyasa Bhatara Brahma, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Bayu (perbuatan), Kapur/Pamor sebagai lambang/nyasa Bhatara Iswara, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Idep (pikiran). Suatu kehidupan tanpa dibarengi dengan Tri-premana dan Tri Kaya, suatu kehidupan tiadalah artinya, hidup ini akan pasif, karena dari adanya Tri-premana dan Tri Kaya itulah kita bisa memiliki suatu aktivitas, tanpa kita memiliki suatu aktivitas kita tidak akan dapat menghadapi badan ini. Suatu aktivitas akan terwujud karena adanya Tri-Premana ataupun Tri-kaya.
  4. Tebu dan pisang.
    Di atas sebuah ceper telah diisi dengan beras, porosan, dan juga diisi dengan seiris tebu dan seiris pisang. Tebu atapun pisang memiliki makna sebagai lambang/nyasa amrtha. Setelah kita memiliki badan dan jiwa yang menghidupi badan kita, dan tri Pramana yang membuat kita dapat memiliki aktivitas, dengan memiliki suatu aktivitaslah kita dapat mewujudkan Amrtha untuk menghidupi badan dan jiwa ini. Tebu dan pisang adalah sebagai lambang/ nyasa Amrtha yang diciptakan oleh kekuatan Tri Pramana dan dalam wujud Tri Kaya.
  5. Sampian Uras.
    Sampian uras dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai, yang melambangkan roda kehidupan dengan Astaa iswaryanya/delapan karakteristik yang menyertai setiap kehidupan umat manusia. Yaitu : Dahram (Kebijaksanaan), Sathyam (Kebenaran dan kesetiaan), Pasupati (ketajaman, intelektualitas), kama Kesenangan), Eswarya (kepemimpinan), Krodha (kemarahan), Mrtyu (kedengkian, iri hati, dendam), Kala ( kekuatan). Itulah delapan karakteristik yang dimiliki oleh setiap umat manusia, sebagai pendorong melaksanakan aktivitas, dalam menjalani roda kehidupannya.
  6. Bunga.
    Bunga adalah sebagai lambang/nyasa, kedamaian, ketulusan hati. Pada sebuah canang bunga akan ditaruh di atas sebuah sampian uras, sebagai lambang/nyasa di dalam kita menjalani roda kehidupan ini hendaknya selalu dilandasi dengan ketulusan hati dan selalu dapat mewujudkan kedamaian bagi setiap insan.
  7. Kembang Rampai.
    Kembang rampai akan ditaruh di atas susunan/rangkaian bunga-bunga pada suatu canang, kembang rampai memiliki makna sebagai lambang/nyasa kebijaksanaan. Dari kata kembang rampai memiliki dua arti, yaitu: kembang berarti bunga dan rampai berarti macam-macam, sesuai dengan arah pengider-ideran kembang rampai di taruh di tengah sebagai simbol warna brumbun, karena terdiri dari bermacam-macam bunga. Dari sekian macam bunga, tidak semua memiliki bau yang harum, ada juga bunga yang tidak memiliki bau, begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, tidak selamanya kita akan dapat menikmati kesenangan adakalanya juga kita akan tertimpa oleh kesusahan, kita tidak akan pernah dapat terhindar dari dua dimensi kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehiupan ini hendaknya kita memiliki kebijaksanaan.
  8. Lepa.
    Lepa atau boreh miyik adalah sebagai lambang/nyasa sebagai sikap dan prilaku yang baik. Boreh miyik/lulur yang harum, lalau seseorang memaki lulur, pasti akan dioleskan pada kulitnya, jadi lulur sifat di luar yang dapat disaksikan oleh setiap orang. Yang dapat dilihat ataupun disaksikan oleh orang lain adalah prilaku kita, karena prilakunyalah seseorang akan disebut baik ataupun buruk, seseorang akan dikatakan baik apabila dia selalu berbuat baik, begitu juga sebaliknya seseorang akan dikatakan buruk kalau di selalu berbuat hal-hal yang tidak baik. Boreh miyik sebagai lambang/nyasa perbuatan yang baik.
  9. Minyak wangi.
    Minyak wangi/miyik-miyikan sebagai lambang/nyasa ketenangan jiwa atau pengendalian diri, minyak wangi biasanya diisi pada sebuah canang. Sebagai lambang/nyasa di dalam kita menata hidup dan kehidupan ini hendaknya dapat dijalankan dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik, saya umpamakan seperti air yang tenang, di dalam air yang kita akan dapat melihat jauh ke dalam air, sekecil apapun benda yang ada dalam air dengan gampang kita dapat melihatnya. Begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang mantap kita akan dapat menyelesaikan segala beban hidup ini.
Canang adalah pada dasarnya sebagai wujud dari perwakilan kita untuk menghadap kepada-Nya. Kalau kita dapat meresapi dan menghayati serta melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti apa yang terkandung dalam makna Canang sari di atas, pasti bhakti kita akan diterima oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan kita dapat mengarungi kehidupan ini dengan damai sejahtera sekala niskala. Karena ketaqwaan seseorang beragama bukanlah dinilai dari seringnya mereka sembahyang atau menghaturkan persembahan yang mewah-mewah, melainkan sejauh mana mereka dapat merealisasikan dalam bentuk prilakunya dalam bermasyarakat. Karena suatu ajaran Agama tidak hanya cukup untuk diresapi ataupun dihayati saja, melainkan harus dipraktekan dalam kehidupan nyata sehari-hari di dalam masyarakat.
by: shri danu d.p (HD-NET)

February 1, 2013

Sabda Sejati


Dan..
ketika ku tenang sperti danau musim semi...
ku hanya bisa kagumi,
siapa kiranya Dalang di balik sukma ini...

Masih ku tak percaya..
Hari yang lalu ku menangis mengiba
Isakanku menghentikan detak di dada
Raga tak bergeming ditikam rasa
Kuhanyut dalam tidur yang tak aku kuasa..

Aneh sekali rasanya..
Saat kuterbangun dan nafasku masih ada
Kutilik bahagiaku masih tersisa
Kutengok mentari di luar jendela..
....masa depan masih kupunya...

Aku seperti kehilangan tapi TIDAK
Aku seperti ditinggalkan tapi TIDAK
Aku seperti diabaikan tapi TIDAK

Semuanya masih sangat utuh di dalam sini...
....apa yang kuratapi?

yang pergi memang tak kembali
tapi bukanlah itu yang sejatinya
sesungguhnya.. smua baik adanya

ku terperdaya pikiran sendiri hingga menangisinya...
saat itu aku benar-benar lupa
lelah dan ego mendarat di jiwa

kenyataannya
semestanya tak kemana...
lekat dikesejatian yang sejati

I'm laughing at myself
betapa konyol diri ini
karena sungguh...
ku tak pernah sedetikpun kehilangan
"raos ing salebeting raos.."

tercengang kutanyakan pada Sang Dalang
dalam riuh kudapatkan sabda Sang Sejati
"Ingsun ora bakal negakake marang sira, kang makili pakaryaningsun"
lalu..
menyalalah lagi lampu kesadaran itu
....Rahayu...

*OM Dirghayurastu my illuminating anchor!

write in Sukra Umanis Ukir
by me.. Luh'de

January 6, 2013

Siwaratri



SIWARATRI
Sehari sebelum Tilem sasih Kapitu atau yang sering di sebut prawaning tilem kapitu, umat hindu memperingati Hari Siwaratri. Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Siwarâtri juga disebut hari suci pajagran, yang jatuh pada hari Catur Dasi Krsna paksa bulan Magha (panglong ping 14 sasih Kapitu).

Hakekat hari suci Siwaratri adalah sebagai media introsfeksi diri untuk senantiasa mawas diri serta menyadari akan Sang Diri Sejati (Gede Manik, S.Ag:WHD. No. 492,2008). Siwaratri merupakan perenungan diri sehingga dapat meminimalkan perbuatan dosa dalam kehidupan sehari-hari. Adalah tanpa makna jika merayakan Siwaratri justru yang diperoleh hanya kantuk dan lapar yang sangat menyiksa. (Gede Manik, Loc.Cit).
Perayaan Siwa Ratri bersumberkan pada beberapa literatur Hindu seperti Shiwa Purana, Skanda Purana, Kakawin Siwa Ratri Kalpa dan lain sebagainya, dan bahkan terdapat sumber dari Eropa.

Di Indonesia bersumberkan pada Kakawin Siwaratri Kalpa. Kisah yang sudah tidak asing bagi umat Hindu adalah kisah Sang Lubdaka. Dikisahkan seorang pemburu profesional bernama Lubdaka, tetapi karena bernasib sial, pada suatu hari Ia tidak menemukan satu ekorpun buruan yang Ia cari seharian, hingga akhirnya Sang Lubdaka menginap di hutan. Karena takut dengan binatang buas, ia berbaring pada batang pohon Bilva/Maja (pohon kesayangan Tuhan Shiwa).
Untuk menghilangkan kantuknya Sang Lubdaka memetik daun Bilwa satu per satu hingga pagi hari. Tanpa disadari daun yang dijatuhkan mengenai Siva Lingga (yaitu sarana memuja Tuhan yang berbentuk Lingga-Yoni). Setelah pagi hari Lubdaka pulang ke rumah tanpa membawa buruan.

Hingga suatu hari Sang Lubdaka meninggal, meski sang pemburu ini sebagai pembunuh binatang ternyata arwahnya ketika disiksa dan diseret ke Neraka oleh Yama Duta (pengawal Bhatara Yama), tetapi tidak diizinkan untuk dibawa ke neraka namun justru dibawa ke Siwa Loka (surga) oleh para Gana (pengawal Bhatara Shiwa) atas perintah Bhatara Shiwa. Karena ternyata Tuhan berkenan pada Lundaka, sebab ia pernah memuja beliau disaat malam Siwa (Siwa Ratri).

Untuk mendukung kisah Lubdaka, orang yang jahat memperoleh surga. Didalam Bhagavad Gita disebutkan bahwa “Meskipun seseorang melakukan perbuatan yang paling jijik, kalau ia tekun dalam bhakti, ia harus diakui sebagai orang suci karena ia mantap dalam ketabahan hatinya dengan cara yang benar. Dalam waktu yang singkat ia menjadi saleh dan mencapai kedamaian yang abadi. Wahai putera Kunti, nyatakanlah dengan berani bahwa penyembah-Ku tidak akan pernah binasa. Wahai putera Prtha, orang yang berlindung kepada-Ku, walaupun mereka dilahirkan dalam keadaan yang lebih rendah, atau wanita, vaisya [pedagang] dan sudra [buruh] semua dapat mencapai tujuan tertinggi” (Bhagavad Gita 9.30-32)
Dari kisah itu sebenarnya bahwa kita diajarkan untuk membantai musuh dalam diri (Sad Ripu/enam musuh dalam diri) dan memburu Tuhan hingga ke hutan (keheningan) dan tentunya dengan memuja Tuhan dengan mengidungkan nama suci Tuhan yaitu “Om Namah Shiwa Ya” dalam mendaki tangga spiritual. Binatang buas yang dimaksudkan adalah dunia material yang selalu hadir dalam kehidupan kita, sehingga kita harus mawas diri agar kita tidak terjebak oleh tujuh sifat kegelapan (Sapta Timira)

BRATA SIWARATRI
Hari suci Tilem datangnya tiap bulan, tapi mengapa tilem Kepitu mempunyai keistimewaan tersendiri. Untuk itu mari kita simak keutamaan brata Siwaratri yang tercantum dalam “Padma Purana” dituangkan dalam percakapan antara seorang Maha Rsi, yaitu Wasistha dengan seorang Raja yang bernama Dilipa. Kutipannya sebagai berikut :
“Dengarkanlah Paduka, saya akan menjelaskan kepada Anda tentang Brata Malam Siwa yang sangat utama, satu-satunya sarana untuk mencapai Siwaloka. Hari keempat belas paruh gelap bulan Magha atau Palguna, patut diketahui sebagai Malam Siwa (Siwaratri), yang menghapuskan segala papa.

Anugerah itu paduka, tidak didapatkan dengan tapa, dana, japa, semadhi, tidak juga dengan upacara dan sebagainya. Brata Malam Siwa paduka, adalah yang paling utama diantara segala brata, bagi Meru diantara Gunung, Matahari diantara segala yang bercahaya, Pertapa diantara mahluk berkaki dua, dan Kapila diantara mahluk berkaki empat, Gayatri diantara mantra, Amerta diantara segala yang cair, Wisnu diantara laki-laki dan Arundhati diantara wanita”.

Banyak kalangan yang kurang setuju, jikalau malam Siwaratri sebagai malam penebusan dosa. Karena kepercayaan Hindu, hukum karma itu tidak pandang bulu. Meskipun orang suci, jika berbuat salah tetap akan mendapat hukuman. Reaksi dari perbuatan itu sulit untuk dihapus, maka dari itu ada beberapa pakar yang menyatakan tidak setuju jika malam Siwaratri diistilahkan sebagai malam peleburan dosa.

Umumnya Siwaratri dilaksanakan dengan laku brata : Mona Brata (pengendalian dalam kata-kata). Mona brata sering diistilahkan dengan tidak mengucapkan kata-kata sepatahpun. Sehingga hal seperti ini bisa menimbulkan kesalah-pahaman. Karena jika seorang teman sedang bertandang kerumah dan menyapa atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut, menyebabkan orang menjadi tersinggung. Maunya melakukan tapa mona brata, justru malah melakukan himsa karma, karena membuat orang lain menjadi jengkel dan sakti hati. Kalaupun punya niat tapa brata semacam itu, sebaiknya pergi ke hutan atau ketempat yang sunyi, jauh dari keramaian.

Upawasa yaitu pengendalian dalam hal makan dan minum. Jadi disini ditekankan tidak diharuskan untuk berpuasa/tidak makan dan minum semalam suntuk. Melainkan pengendalian dalam hal makan dan minum. Umat dibebaskan untuk melaksanakan bratanya, mau puasa ya silahkan, tidakpun tidak apa-apa. Hanya saja brata itu berlaku untuk seterusnya.

Jagra yaitu pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam suntuk hingga menjelang pagi disertai melakukan pemujaan kepada Siwa sebagai pelebur kepapaan. Jadi pada malam Siwaratri itu yang terpenting adalah begadang demi dia (Siwa). Bukan begadang main gaple atau nonton TV. Pada keesokan harinya melaksanakan Darma Santhi, pergi saling menungjungi kerumah sahabat, handai toland sambil bermaaf-maafan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Malam Siwaratri bukanlah malam peleburan dosa, melainkan peleburan kepapaan dari kelemahan sifat-sifat manusia. Semua manusia memiliki kepapaan, karena dibelengu oleh nafsu-nafsu indrianya/raganya.

Itulah sebabnya sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri pada Tilem Kepitu yaitu sehari menjelang Tilem Kepitu. Yang tujuannya semata-mata untuk mengurangi kepapaan dari nafsu-nafsu indria yang dimiliki oleh umat manusia.

Terutama sekali yang berupa 7 (tujuh) kegelapan yang disebut dengan Sapta Timira (tujuh macam kemabukan). Diantaranya adalah, Surupa (mabuk karena rupawan/rupa tampan atau cantik), Dhana (mabuk karena kekayaan), Guna (mabuk karena kepandaian), Kasuran (mabuk karena kemegahan), kulina (mabuk karena keturunan bangsawan), Yowana (mabuk karena keremajaan), Sura (mabuk karena minuman keras).

Ternyata bukan minuman keras saja yang menyebabkan seseorang menjadi mabuk, melainkan juga ke enam keberuntungan itu. Jika tidak hati-hati membawa dan menjaga keberuntungan itu, justru membuat seseorang menjadi sombong dan terjerumuslah dia kedalam kegelapan.

Makna hari suci Siwaratri adalah untuk menyadari bahwa seseorang berada dalam pengaruh kegelapan. Kegelapan itulah yang harus diterangi, baik jiwa, pikiran maupun badan jasmaninya. Kegelapan itu harus disingkirkan dengan ilmu pengetahuan rohani.

Yang paling penting sekali adalah berkat dari Sang Hyang Siwa sendiri. Beliaulah yang akan menghapus kepapaan, ketidak berdayaan melawan hawa nafsunya sendiri. Mungkin ribuan orang akan menyoraki dan mencaci maki seorang penjahat yang mendapat hukuman. Bahkan pula dilempari dengan batu. Namun beliau (Sang Hyang Sada Siwa) menangis melihat umat-Nya dalam kesengsaraan. Beliau tidak membenci malah lebih bersimpati pada mereka yang mengalami nasib buruk seperti itu.

Itulah keutamaan beliau, tidak membenci siapapun, walaupun penjahat kelas kakap yang dibenci jutaan manusia. Beliau tetap berbelas kasih. Bersedia mengampuni, asal umat-Nya dengan tulus iklas berserah diri, pasrah total kehadapan-Nya.

Beliau sendiri yang akan mebimbing dan memutuskan keadilan-Nya. Maka sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri ini kepada siapa saja. Karena pintu tobat dan pengampunan pada hari itu terbuka lebar-lebar.