Sehari sebelum
Tilem sasih Kapitu atau yang sering di sebut prawaning tilem kapitu,
umat hindu memperingati Hari Siwaratri. Siwaratri adalah hari suci untuk
melaksanakan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa
dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Siwarâtri juga
disebut hari suci pajagran, yang jatuh pada hari Catur Dasi Krsna
paksa bulan Magha (panglong ping 14 sasih Kapitu).
Hakekat hari suci
Siwaratri adalah sebagai media introsfeksi diri untuk senantiasa mawas diri
serta menyadari akan Sang Diri Sejati (Gede Manik, S.Ag:WHD. No. 492,2008).
Siwaratri merupakan perenungan diri sehingga dapat meminimalkan perbuatan dosa
dalam kehidupan sehari-hari. Adalah tanpa makna jika merayakan Siwaratri justru
yang diperoleh hanya kantuk dan lapar yang sangat menyiksa. (Gede Manik, Loc.Cit).
Perayaan Siwa
Ratri bersumberkan pada beberapa literatur Hindu seperti Shiwa Purana,
Skanda Purana, Kakawin Siwa Ratri Kalpa dan lain sebagainya, dan bahkan
terdapat sumber dari Eropa.
Di Indonesia
bersumberkan pada Kakawin Siwaratri Kalpa. Kisah yang sudah tidak asing
bagi umat Hindu adalah kisah Sang Lubdaka. Dikisahkan seorang pemburu
profesional bernama Lubdaka, tetapi karena bernasib sial, pada suatu hari Ia
tidak menemukan satu ekorpun buruan yang Ia cari seharian, hingga akhirnya Sang
Lubdaka menginap di hutan. Karena takut dengan binatang buas, ia berbaring pada
batang pohon Bilva/Maja (pohon kesayangan Tuhan Shiwa).
Untuk
menghilangkan kantuknya Sang Lubdaka memetik daun Bilwa satu per satu hingga
pagi hari. Tanpa disadari daun yang dijatuhkan mengenai Siva Lingga (yaitu
sarana memuja Tuhan yang berbentuk Lingga-Yoni). Setelah pagi hari Lubdaka
pulang ke rumah tanpa membawa buruan.
Hingga suatu hari
Sang Lubdaka meninggal, meski sang pemburu ini sebagai pembunuh binatang
ternyata arwahnya ketika disiksa dan diseret ke Neraka oleh Yama Duta
(pengawal Bhatara Yama), tetapi tidak diizinkan untuk dibawa ke neraka
namun justru dibawa ke Siwa Loka (surga) oleh para Gana (pengawal
Bhatara Shiwa) atas perintah Bhatara Shiwa. Karena ternyata Tuhan
berkenan pada Lundaka, sebab ia pernah memuja beliau disaat malam Siwa (Siwa
Ratri).
Untuk mendukung
kisah Lubdaka, orang yang jahat memperoleh surga. Didalam Bhagavad Gita disebutkan
bahwa “Meskipun seseorang melakukan perbuatan yang paling jijik, kalau ia tekun
dalam bhakti, ia harus diakui sebagai orang suci karena ia mantap dalam
ketabahan hatinya dengan cara yang benar. Dalam waktu yang singkat ia menjadi
saleh dan mencapai kedamaian yang abadi. Wahai putera Kunti, nyatakanlah dengan
berani bahwa penyembah-Ku tidak akan pernah binasa. Wahai putera Prtha, orang
yang berlindung kepada-Ku, walaupun mereka dilahirkan dalam keadaan yang lebih
rendah, atau wanita, vaisya [pedagang] dan sudra [buruh] semua dapat mencapai
tujuan tertinggi” (Bhagavad Gita 9.30-32)
Dari kisah itu
sebenarnya bahwa kita diajarkan untuk membantai musuh dalam diri (Sad Ripu/enam
musuh dalam diri) dan memburu Tuhan hingga ke hutan (keheningan) dan tentunya
dengan memuja Tuhan dengan mengidungkan nama suci Tuhan yaitu “Om Namah Shiwa
Ya” dalam mendaki tangga spiritual. Binatang buas yang dimaksudkan adalah dunia
material yang selalu hadir dalam kehidupan kita, sehingga kita harus mawas diri
agar kita tidak terjebak oleh tujuh sifat kegelapan (Sapta Timira)
BRATA SIWARATRI
Hari suci Tilem datangnya tiap bulan, tapi mengapa tilem Kepitu
mempunyai keistimewaan tersendiri. Untuk itu mari kita simak keutamaan brata
Siwaratri yang tercantum dalam “Padma Purana” dituangkan dalam percakapan
antara seorang Maha Rsi, yaitu Wasistha dengan seorang Raja yang bernama
Dilipa. Kutipannya sebagai berikut :
“Dengarkanlah Paduka, saya akan menjelaskan kepada Anda tentang Brata Malam
Siwa yang sangat utama, satu-satunya sarana untuk mencapai Siwaloka. Hari
keempat belas paruh gelap bulan Magha atau Palguna, patut diketahui sebagai
Malam Siwa (Siwaratri), yang menghapuskan segala papa.
Anugerah itu paduka, tidak didapatkan dengan tapa, dana, japa, semadhi, tidak
juga dengan upacara dan sebagainya. Brata Malam Siwa paduka, adalah yang paling
utama diantara segala brata, bagi Meru diantara Gunung, Matahari diantara
segala yang bercahaya, Pertapa diantara mahluk berkaki dua, dan Kapila diantara
mahluk berkaki empat, Gayatri diantara mantra, Amerta diantara segala yang
cair, Wisnu diantara laki-laki dan Arundhati diantara wanita”.
Banyak kalangan yang kurang setuju, jikalau malam Siwaratri sebagai malam
penebusan dosa. Karena kepercayaan Hindu, hukum karma itu tidak pandang bulu.
Meskipun orang suci, jika berbuat salah tetap akan mendapat hukuman. Reaksi
dari perbuatan itu sulit untuk dihapus, maka dari itu ada beberapa pakar yang
menyatakan tidak setuju jika malam Siwaratri diistilahkan sebagai malam
peleburan dosa.
Umumnya Siwaratri dilaksanakan dengan laku brata : Mona Brata (pengendalian
dalam kata-kata). Mona brata sering diistilahkan dengan tidak mengucapkan
kata-kata sepatahpun. Sehingga hal seperti ini bisa menimbulkan
kesalah-pahaman. Karena jika seorang teman sedang bertandang kerumah dan menyapa
atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut, menyebabkan orang menjadi
tersinggung. Maunya melakukan tapa mona brata, justru malah melakukan himsa
karma, karena membuat orang lain menjadi jengkel dan sakti hati. Kalaupun punya
niat tapa brata semacam itu, sebaiknya pergi ke hutan atau ketempat yang sunyi,
jauh dari keramaian.
Upawasa yaitu pengendalian dalam hal makan dan minum. Jadi disini ditekankan
tidak diharuskan untuk berpuasa/tidak makan dan minum semalam suntuk. Melainkan
pengendalian dalam hal makan dan minum. Umat dibebaskan untuk melaksanakan
bratanya, mau puasa ya silahkan, tidakpun tidak apa-apa. Hanya saja brata itu
berlaku untuk seterusnya.
Jagra yaitu pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam suntuk hingga
menjelang pagi disertai melakukan pemujaan kepada Siwa sebagai pelebur
kepapaan. Jadi pada malam Siwaratri itu yang terpenting adalah begadang demi
dia (Siwa). Bukan begadang main gaple atau nonton TV. Pada keesokan harinya
melaksanakan Darma Santhi, pergi saling menungjungi kerumah sahabat, handai
toland sambil bermaaf-maafan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Malam Siwaratri bukanlah malam peleburan dosa,
melainkan peleburan kepapaan dari kelemahan sifat-sifat manusia. Semua manusia
memiliki kepapaan, karena dibelengu oleh nafsu-nafsu indrianya/raganya.
Itulah sebabnya sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri pada Tilem
Kepitu yaitu sehari menjelang Tilem Kepitu. Yang tujuannya semata-mata untuk
mengurangi kepapaan dari nafsu-nafsu indria yang dimiliki oleh umat manusia.
Terutama sekali yang berupa 7 (tujuh) kegelapan yang disebut dengan Sapta
Timira (tujuh macam kemabukan). Diantaranya adalah, Surupa (mabuk karena
rupawan/rupa tampan atau cantik), Dhana (mabuk karena kekayaan), Guna (mabuk
karena kepandaian), Kasuran (mabuk karena kemegahan), kulina (mabuk karena
keturunan bangsawan), Yowana (mabuk karena keremajaan), Sura (mabuk karena
minuman keras).
Ternyata bukan minuman keras saja yang menyebabkan seseorang menjadi mabuk,
melainkan juga ke enam keberuntungan itu. Jika tidak hati-hati membawa dan
menjaga keberuntungan itu, justru membuat seseorang menjadi sombong dan
terjerumuslah dia kedalam kegelapan.
Makna hari suci Siwaratri adalah untuk menyadari bahwa seseorang berada dalam
pengaruh kegelapan. Kegelapan itulah yang harus diterangi, baik jiwa, pikiran
maupun badan jasmaninya. Kegelapan itu harus disingkirkan dengan ilmu
pengetahuan rohani.
Yang paling penting sekali adalah berkat dari Sang Hyang Siwa sendiri.
Beliaulah yang akan menghapus kepapaan, ketidak berdayaan melawan hawa nafsunya
sendiri. Mungkin ribuan orang akan menyoraki dan mencaci maki seorang penjahat
yang mendapat hukuman. Bahkan pula dilempari dengan batu. Namun beliau (Sang
Hyang Sada Siwa) menangis melihat umat-Nya dalam kesengsaraan. Beliau tidak
membenci malah lebih bersimpati pada mereka yang mengalami nasib buruk seperti
itu.
Itulah keutamaan beliau, tidak membenci siapapun, walaupun penjahat kelas kakap
yang dibenci jutaan manusia. Beliau tetap berbelas kasih. Bersedia mengampuni,
asal umat-Nya dengan tulus iklas berserah diri, pasrah total kehadapan-Nya.
Beliau sendiri yang akan mebimbing dan memutuskan keadilan-Nya. Maka sangat
dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri ini kepada siapa saja. Karena
pintu tobat dan pengampunan pada hari itu terbuka lebar-lebar.