October 16, 2011

Pura di Lereng Lawu dan Sekitarnya

Akankah Hindu akan berkibar kembali di Bumi Nusantara ? Jawaban atas pertanyaan tersebut sering dikaitkan dengan ramalan, seperti : Ramalan Joyoboyo atau Sumpah Sabda Palon dan Naya Genggong, dimana ketika Brawijaya VII (Majapahit terakhir) dan berakhirnya Dinasti Raja-Raja Hindu diramalkan Hindu akan kembali berkibar di Bumi Nusantara. Apakah sekarang ini saatnya ? persepsi tentang hal itu akan berbeda-beda, tetapi kita tidak perlu berdebat tentang hal yang merupakan kekuasaan Hyang Widhi tetapi mari kita lihat bersama fenomena yang ada sekarang ini dimasyarakat. Hindu di Indonesia yang sekarang bukan lagi dominasi penduduk Bali sudah bisa dilihat dengan jelas, dimana-mana di Indonesia kita sudah bisa melihat tersebarnya umat Hindu ini, tentunya kuantitas bukan menjadi ukuran. Di Jawa khususnya Jawa Tengah umat Hindu asli suku Jawa cukup banyak jumlahnya. Mengutip nasihat orang tua tentang pengertian ”Jawa ” yang dikaitkan dengan ”Bali Jowone” bisa dijadikan rujukan, bahwa Jawa yang berasal dari Arjawan (jujur) menjadi idaman kita semua sehingga harapan ”Bali Jowone (Kembalinya sifat Jujur) bermakna luas menjadi kembalinya ajaran leluhur ini di bumi Nusantara. Ajaran leluhur dimaksud tentunya Ajaran Hindu. Secara fisik sekarang sudah bisa kita lihat dengan banyak berdiri Pura dimana-mana diluar Bali.

Dilereng Gunung Lawu, yang merupakan wilayah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah banyak bertempat tinggal umat Hindu asli suku Jawa, juga disekitar Karanganyar yang merupakan ex Kresidenan Surakarta (Solo, Karanganyar,Sukoharjo, Sragen, Wonogiri, dan Klaten). Di Karanganyar ada belasan Pura seperti : Kec.Mojogedang ada Pura Amertha Shanti dan Pura Sedaleman, di Kec.Ngargoyoso ada Pura Sumber Sari, Pura Jonggol Shanti Loka, Pura Tunggal Ika, Pura Argha Bhadra Dharma, dan Pura Luda Bhuwana. Di Kec. Jenawi ada Pura Lingga Bhuwana dan beberapa Pura lainnya. Di Kec.Karangpandan ada Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita. Pura di Karanganyar ini dibangun setelah mulai bangkitnya umat Hindu ini, jadi bukan peninggalan sejarah seperti : Candi Ceto dan Candi Sukuh. Di Kabupaten Sragen yang sering dilalui kendaraan dari Surabaya (untuk arah dari timur yang merupakan jalur selatan), juga banyak dijumpai Pura. Di Kec.Masaran ada Pura Jagadpati dan Pura Mojo Agung. Di Kec.Sumberlawang ada Pura Jowongso, Pura Bhuana Loka, Pura Tirta Dharma, dan Pura Jati. Di kec.Miri ada Pura Desa Miri, dan Kec.Sukowati ada Pura Agung Bhuwana. Pura di Karanganyar dan Sragen ini keberadaannya di Desa yang penduduknya umat Hindu dari suku Jawa, Pura serupa ada di Sukoharjo, Klaten, juga Boyolali (Ngenden dan lain-lain). Yang berbeda adalah Pura dilingkungan Surakarta (Solo). Karena Surakarta termasuk kota, maka Pura ini banyak di Ampu (Pengempon) oleh umat Hindu asal Bali yang menetap di Surakarta berbaur dengan umat Hindu Suku Jawa. Pura tersebut adalah : Pura Bhuwana Agung Saraswati di lingkungan Kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) , Jebres Surakarta, Pura Indraprasta – Mutihan Surakarta, Pura Bhirawa Dharma di Komplek Koppasus Karang Menjangan, Kartasura, dan Pura Mandira Seta disebelah Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Pura di wilayah Karanganyar tempatnya di desa-desa di kaki Gunung Lawu sehingga suasana Pura ini sangat sejuk dan nyaman bagi umat yang berkunjung. Umat Hindu diwilayah ini sebelumnya jumlahnya lebih banyak dari sekarang namun karena situasi tertentu, seperti : kesulitan Pengurusan KTP, Akte Perkawinan, dan juga kurang dukungan maka lama kelamaan jumlahnya semakin menipis, syukur sekarang sudah terbentuk PHDI juga Peradah sehingga kepercayaan diri mereka semakin baik. Secara umum Pura disini ber-ornamen Bali dan Pelinggihnya biasanya berupa Padmasana, karena memang tidak bisa dipungkiri, bahwa keberadaan orang Bali kedaerah ini banyak mendorong perkembangan Hindu di wilayah ini. Disamping itu sebagai kebutuhan awal, maka sarana sembahyang berupa Pura menjadi hal yang pokok disamping peningkatan Srada. Secara tidak sadar kedatangan orang Bali yang berbaur dengan penduduk setempat, apakah sebagai Guru, Polisi, atau Pegawai seperti sudah ditakdirkan menjadi bagian dari proses bangkitnya Hindu ini. Namun tidak bisa dilepaskan juga adalah keterlibatan tokoh-tokoh umat Jawa sendiri, seperti : Harjanto (Tokoh di Pura Mandira Seta), juga Supanggih, Romo Maming, Sunarto, dan umat Jawa lainnya. Beliau-beliau ini sudah berkiprah ketika Hindu di Jateng ini belum dikenal seperti sekarang. Juga bisa dilihat bagaimana kuatnya srada ke Hinduan sesepuh di Mutihan tetap bertahan di suatu tempat Pemujaan ditengah-tengah umat beragama lainnya. Sekarang dengan kedatangan orang Bali Pura ini dikembangkan dan dikenal dengan Pura Indraprasta. Romo Maming juga sangat besar jasanya, dimana dengan tangan sendiri beliau membangun tempat pemujaan sehingga sering berminggu-minggu berada disuatu tempat. Bangunan yang dihasilkan sudah tentu bukan Padmasana atau Meru, tetapi apakah salah ? rasanya karena didasari ketulusan hati walaupun itu berupa seonggok batu yang disakralisasi (Pratista) tetap merupakan sarana yang baik untuk menghubungkan diri kepada sang pencipta. Bagaimana dengan Candi di Karanganyar yang merupakan peninggalan sejarah ?. Candi Ceto dan Candi Sukuh walaupun Dikelola Dinas Purbakala tetap bisa menjadi tempat Pemujaan umat Hindu. Seperti misalnya Candi Ceto, Candi ini sering dijadikan acara umat Hindu dengan tradisi Jawa berupa Mondosio (Medangsia). Candi Ceto dan Candi Sukuh juga sering dikunjungi umat Hindu dari Bali. Yang agak lain adalah keberadaan Patung Dewi Saraswati hasil kerjasama Pemda Karanganyar dengan Pemda Gianyar Bali. Nuansa Pariwisatanya sangat kental karena Publikasi gencarnya dari Dinas Pariwisata Karanganyar. Patung ini berada diatas sebelah kanan Candi Ceto. Yang menjadi pertanyaan adalah Meru Tumpang Tiga (Susun Tiga) yang tepat berada disebelah Patung tersebut yang merupakan peninggalan asli tidak ikut dipublikasikan atau kenapa bukan peninggalan asli yang dikembangkan. Di Kec.Karangpandan ada Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita. Tempat ini hakekatnya memang Pura Kawitan karena terdapat Petilasan Trah Pasek juga Pemujaan leluhur Pasek (Sapta Pandita) tetapi tempat ini juga adalah Pura umum, sehingga umat Hindu suku Jawa juga umat Hindu asal Bali yang bersedia, bahkan umat non Hindu banyak yang datang bersembahyang ke Petilasan ini. Tempat ini juga sering dipakai untuk event-event seperti : Pemilihan Pengurus PHDI Karanganyar, Peradah Karanganyar, dan Tirta Yatra Mahasiswa Hindu Jogja sekitarnya dari berbagai Soroh (clan). Bagaimana dengan Kabupaten Sragen ?. Umat Hindu asal suku Jawa cukup banyak disini. Yang menjadi sentranya adalah Pura Jagadpati Masaran. Tokoh disini adalah Ketut Ardana , seorang Polisi yang mertuanya tokoh Hindu asal suku Jawa disana. Semangat juang umat Hindu disini pantas dijadikan contoh. Dengan kepiawaian dan keberanian Ketut Ardana juga perjuangan gigih tokoh dan umat lainnya dari suku Jawa, telah menggugah umat Hindu lainnya untuk terlibat, melalui sumbangan dana atau bantuan lainnya. Sekarang sudah berdiri Pura yang cukup megah untuk ukuran Pura di pedesaan, walau belum sesuai harapan karena saat ini masih sedang membangun sarana fisik lainnya dan perlu dukungan para dermawan. Event-event penting juga sering dilakukan di Pura ini seperti : Lokasaba Peradah, bahkan saat Ngenteg Linggih Pura Jagadpati, sempat mengundang PHDI Pusat : Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa dan Adi Suripto. Kedepan Pura Jadadpati bisa menjadi motor pengembangan umat Hindu di Sragen dan sekitarnya. Yang perlu mendapat perhatian adalah Pura di Kec. Sumberlawang, seperti Pura Jowongso. Pura ini sudah semakin sepi umat kalau tidak mau dikatakan ditinggalkan umat, karena banyak umatnya yang sudah beralih dari Agama Hindu, sehingga sangat diperlukan keterlibatan umat Hindu yang peduli atau Lembaganya. Umat Hindu di wilayah ini juga di Karanganyar dan sekitarnya memang membutuhkan tempat sembahyang (Pura) tetapi disamping itu mereka juga perlu didorong peningkatan Srada, sehingga umat Hindu secara pribadi atau lembaga digugah untuk mau terjun ke kantong-kantong Hindu ini. Bagi yang punya dana sumbangkan untuk pembangunan fisik, bagi yang punya buku-buku Hindu salurkanlah, bagi yang punya kemampuan pengetahuan Hindu lakukan Jnana Punia.

Pura di wilayah Surakarta adalah Pura masa depan, kenapa demikian ? Pura disini yang sering menjadi tempat persembahyangan kebanyakan umat Hindu dari Bali, jumlahnya cukup banyak dibandingkan dengan jumlah umatnya. Pura tersebut adalah Pura Bhuana Agung Saraswati, Pura Indraprasta dan Pura Bhirawa Dharma. Pura ini di ampu (di-empon) oleh tiga Banjar , yaitu Solo Timur, Solo Tengah, dan Solo Barat, jumlah umatnya hanya sekitar 75 KK, sangat jauh bedanya dengan Pura Tirta Bhuana di Bekasi misalnya yang di-ampu oleh belasan Tempek. Umat di Surakarta harus pandai-pandai mengatur diri sehingga sepertinya umat terpecah padahal tidak, itu hanya agar masing-masing Pura yang ada tetap hidup dalam artian ada umat bersembahyang. Mungkin beberapa generasi lagi baru bisa sepadan antara jumlah umat dengan Pura yang ada. Yang lain adalah Pura Mandira Seta disebelah Kraton Kasunanan Surakarta. Keberadaan Pura ini adalah berkat perjuangan Harjanto almarhum. Tempat ini lebih banyak dijadikan tempat berlatih Yoga (Raja Yoga) disamping untuk bersembahyang, sekarang ini sudah ada tempat berlatih lain didaerah Bekonang Sukoharjo yang banyak diikuti umat dari Manca Negara.

Menyatukan umat walau dalam satu payung Agama Hindu, tetapi karena berasal dari dua suku yang berbeda (Jawa dan Bali), maka tentu akan ada interaksi yang perlu dijalani dengan kearifan. Seperti Pura dengan ornamen Bali dengan Pelinggih yang biasa dipergunakan di Bali (Padmasana dan Meru) jangan menjadi hambatan, kedepan boleh saja kita gali sama-sama peninggalan leluhur mengenai bentuk bangunan yang bernuansa Hindu dengan local genius (kearifan lokal/setempat). Juga jangan terus berada pada tataran Banten (Upakara) dengan dikotomi ”Banten Jawa dan Banten Bali” masuklah ke tataran Tattwa, karena banten itu intinya adalah wujud bhakti kita pada Hyang Widhi jadi saripatinya adalah „Ketulusan“ bukan bentuk fisiknya. Jika menoleh kebelakang bukankah leluhur orang Bali yang berasal dari Jawa membawa agama Hindu ke Bali tentunya dengan sarana persembahyangan berupa Banten ? selanjutnya banten ini berkembang sesuai dengan seni budayanya orang Bali, maka setelah dibawa kembali ke Jawa sudah tidak dikenal lagi oleh umat Jawa. Walaupun demikian perlu digugah umat Hindu asal Jawa yang menekuni seni budaya agar menggali persembahyangan seperti : Mondosio, Dukutan, termasuk sarana seperti tempe bosok dan rokok klintingan dan lainnya untuk didokumentaskan, lalu dicarikan dasar Wedanya (tattwa) kepada Sulinggih, sehingga menjadi jelas dan benar apa yang kita lakukan. Akhirnya melalui tulisan ini semoga umat Hindu atau umat pada umumnya yang peduli bersedia datang melakukan Tirta Yatra ke Karanganyar dan sekitarnya dengan tulus iklas tanpa pamrih dan tanpa motif-motif tertentu, seperti disebutkan dalam ”Sarasamuccaya Sloka 279 : sada daridrairapi hi sakyam praptum naradhipa, tirthabhigamanam pun-yam yajnerapi visisyate (artinya : Sebab keutamaan Tirtayatra itu amat suci, lebih utama daripada pensucian dengan yadnya; Tirthayatra dapat dilakukan oleh si miskin)


Dilaporkan,

Nyoman Sukadana
Jaten- Karanganyar, Solo
Jawa Tengah
14-04-2006

October 11, 2011

Kisah Serat Sastra Jendra

Let me share a "Nusantara Mythology"... semoga kita bisa menggali makna bersama...

Dalam lakon wayang Purwa, kisah Ramayana bagian awal diceritakan asal muasal keberadaan Dasamuka atau Rahwana tokoh raksasa yang dikenal angkara murka, berwatak candala dan gemar menumpahkan darah. Dasamuka lahir dari ayah seorang Begawan sepuh sakti linuwih gentur tapanya serta luas pengetahuannya yang bernama Wisrawa dan ibu Dewi Sukesi yang berparas jelita tiada bandingannya dan cerdas haus ilmu kesejatian hidup. Bagaimana mungkin dua manusia sempurna melahirkan raksasa buruk rupa dan angkara murka ? Bagaimana mungkin kelahiran ” sang angkara murka ” justru berangkat dari niat tulus mempelajari ilmu kebajikan yang disebut Serat Sastrajendra.

Ilmu untuk Meraih Sifat Luhur Manusia.

Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara lengkap disebut Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwatingdiyu. Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan. Pengertiannya bahwa Serat Sastrajendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.

Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misal kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama ” Betara Kala ” (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut ” Kayangan Setragandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.

Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan paling sempurna. Bahkan ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran dzat-Nya. Filosof Timur Tengah Al Ghazali menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari dzat hara berbeda dengan jin atau malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya. Namun manusia memiliki sifat sifat yang mampu menjadi ” khalifah ” (wakil Tuhan di dunia).

Namun ilmu ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Wisrawa seorang satria berwatak wiku yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna untuk mendapat anugerah rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Diyu.
Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu. Sebelum ” madeg pandita ” ( menjadi wiku ) Wisrawa telah lengser keprabon menyerahkan tahta kerajaaan kepada sang putra Prabu Danaraja. Sejak itu sang wiku gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya. Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata.

Sifat Manusia Terpilih.

Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra, para dewata bertanya pada sang Betara Guru. ” Duh, sang Betara agung, siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya. “
Bethara guru menjawab ” Pilihanku adalah anak kita Wisrawa “. Serentak para dewata bertanya ” Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi pelajaran bagi kita semua”
Kemudian sebagian dewata berkata ” Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia “.

Seolah menegur para dewata sang Betara Guru menjawab “Hee para dewata, akupun mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan pada manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci, bahwa malaikat mempertanyakan pada Tuhan mengapa manusia yang dijadikan khalifah padahal mereka ini suka menumpahkan darah”. Serentak para dewata menunduk malu ” Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui”
Kemudian, Betara Guru turun ke mayapada didampingi Betara Narada memberikan Serat Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.

” Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan memberi amanah Serat Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia”
Mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan ” Ampun, sang Betara agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini “.
Betara Narada mengatakan ” Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2 (dua). Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik. ” Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.
Setelah menerima anugerah Sastrajendra maka sejak saat itu berbondong bondong seluruh satria, pendeta, cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa melamar menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya.

Nun jauh, negeri Ngalengka yang separuh rakyatnya terdiri manusia dan separuh lainnya berwujud raksasa. Negeri ini dipimpin Prabu Sumali yang berwujud raksasa dibantu iparnya seorang raksasa yang bernama Jambumangli. Sang Prabu yang beranjak sepuh, bermuram durja karena belum mendapatkan calon pendamping bagi anaknya, Dewi Sukesi. Sang Dewi hanya mau menikah dengan orang yang mampu menguraikan teka teki kehidupan yang diajukan kepada siapa saja yang mau melamarnya. Sebelumnya harus mampu mengalahkan pamannya yaitu Jambumangli. Beribu ribu raja, wiku dan satria menuju Ngalengka untuk mengadu nasib melamar sang jelita namun mereka pulang tanpa hasil. Tidak satupun mampu menjawab pertanyaan sang dewi. Berita inipun sampailah ke negeri Lokapala, sang Prabu Danaraja sedang masgul hatinya karena hingga kini belum menemukan pendamping hati. Hingga akhirnya sang Ayahanda, Begawan Wisrawa berkenan menjadi jago untuk memenuhi tantangan puteri Ngalengka.

Pertemuan Dua Anak Manusia.

Berangkatlah Begawan Wisrawa ke Ngalengka, hingga kemudian bertemu dengan dewi Suksesi. Senapati Jambumangli bukan lawan sebanding Begawan Wisrawa, dalam beberapa waktu raksasa yang menjadi jago Ngalengka dapat dikalahkan. Tapi hal ini tidak berarti kemenanmgan berada di tangan. Kemudian tibalah sang Begawan harus menjawab pertanyaan sang Dewi. Dengan mudah sang Begawan menjawab pertanyaan demi pertanyaan hingga akhirnya, sampailah sang dewi menanyakan rahasia Serat Sastrajendra. Sang Begawan pada mulanya tidak bersedia karena ilmu ini harus dengan laku tanpa ” perbuatan ” sia sialah pemahaman yang ada. Namun sang Dewi tetap bersikeras untuk mempelajari ilmu tersebut, toh nantinya akan menjadi menantunya.

Luluh hati sang Begawan, beliau mensyaratkan bahwa ilmu ini harus dijiwai dengan niat luhur. Keduanya kemudian menjadi guru dan murid, antara yangf mengajar dan yang diajar. Hari demi hari berlalu keduanya saling berinteraksi memahamkan hakikat ilmu. Sementara di kayangan, para dewata melihat peristiwa di mayapada. ” Hee, para dewata, bukankah Wisrawa sudah pernah diberitahu untuk tidak mengajarkan ilmu tersebut pada sembarang orang “.

Para dewata melaporkan hal tersebut kepada sang Betara Guru. ” Bila apa yang dilakukan Wisrawa, bisa nanti kayangan akan terbalik, manusia akan menguasai kita, karena telah sempurna ilmunya, sedangkan kita belum sempat dan mampu mempelajarinya “.

Sang Betara Guru merenungkan kebenaran peringatan para dewata tersebut. ” tidak cukup untuk mempelajari ilmu tanpa laku, Serat Sastrajendra dipagari sifat sifat kemanusiaan, kalau mampu mengatasi sifat sifat kemanusiaan baru dapat mencapai derajat para dewa. ” Tidak lama sang Betara menitahkan untuk memanggil Dewi Uma.untuk bersama menguji ketangguhan sang Begawan dan muridnya.
Hingga sesuatu ketika, sang Dewi merasakan bahwa pria yang dihadapannya adalah calon pendamping yang ditunggu tunggu. Biar beda usia namun cinta telah merasuk dalam jiwa sang Dewi hingga kemudian terjadi peristiwa yang biasa terjadi layaknya pertemuan pria dengan wanita. Keduanya bersatu dalam lautan asmara dimabukkan rasa sejiwa melupakan hakikat ilmu, guru, murid dan adab susila. Hamillah sang Dewi dari hasil perbuatan asmara dengan sang Begawan. Mengetahui Dewi Sukesi hamil, murkalah sang Prabu Sumali namun tiada daya. Takdir telah terjadi, tidak dapat dirubah maka jadilah sang Prabu menerima menantu yang tidak jauh berbeda usianya.

Tergelincir Dalam Kesesatan.

Musibah pertama, terjadi ketika sang senapati Jambumangli yang malu akan kejadian tersebut mengamuk menantang sang Begawan. Raksasa jambumangli tidak rela tahta Ngalengka harus diteruskan oleh keturunan sang Begawan dengan cara yang nista. Bukan raksasa dimuliakan atau diruwat menjadi manusia. Namun Senapati Jambumangli bukan tandingan, akhirnya tewas ditangan Wisrawa. Sebelum meninggal, sang senapati sempat berujar bahwa besok anaknya akan ada yang mengalami nasib sepertinya ditewaskan seorang kesatria.

Musibah kedua, Prabu Danaraja menggelar pasukan ke Ngalengka untuk menghukum perbuatan nista ayahnya. Perang besar terjadi, empat puluh hari empat puluh malam berlangsung sebelum keduanya berhadapan. Keduanya berurai air mata, harus bertarung menegakkan harga diri masing masing. Namun kemudian Betara Narada turun melerai dan menasehati sang Danaraja. Kelak Danaraja yang tidak dapat menahan diri, harus menerima akibatnya ketika Dasamuka saudara tirinya menyerang Lokapala.

Musibah ketiga, sang Dewi Sukesi melahirkan darah segunung keluar dari rahimnya kemudian dinamakan Rahwana (darah segunung). Menyertai kelahiran pertama maka keluarlah wujud kuku yang menjadi raksasi yang dikenal dengan nama Sarpakenaka. Sarpakenaka adalah lambang wanita yang tidak puas dan berjiwa angkara, mampu berubah wujud menjadi wanita rupawan tapi sebenarnya raksesi yang bertaring. Kedua pasangan ini terus bermuram durja menghadapi musibah yang tiada henti, sehingga setiap hari keduanya melakukan tapa brata dengan menebus kesalahan. Kemudian sang Dewi hamil kembali melahirkan raksasa kembali. Sekalipun masih berwujud raksasa namun berbudi luhur yaitu Kumbakarna.

Akhir Yang Tercerahkan.

Musibah demi musibah terus berlalu, keduanya tidak putus putus memanjatkan puja dan puji ke hadlirat Tuhan yang Maha Kuasa. Kesabaran dan ketulusan telah menjiwa dalam hati kedua insan ini. Serat Sastrajendra sedikit demi sedikit mulai terkuak dalam hati hati yang telah disinari kebenaran ilahi. Hingga kemudian sang Dewi melahirkan terkahir kalinya bayi berwujud manusia yang kemudian diberi nama Gunawan Wibisana. Satria inilah yang akhirnya mampu menegakkan kebenaran di bumi Ngalengka sekalipun harus disingkirkan oleh saudaranya sendiri, dicela sebagai penghianat negeri, tetapi sesungguhnya sang Gunawan Wibisana yang sesungguhnya yang menyelamatkan negeri Ngalengka. Gunawan Wibisana menjadi simbol kebenaran mutiara yang tersimpan dalam Lumpur namun tetap bersinar kemuliaannya. Tanda kebenaran yang tidak larut dalam lautan keangkaramurkaan serta mampu mengalahkan keragu raguan seprti terjadi pada Kumbakarna. Dalam cerita pewayangan, Kumbakarna dianggap tidak bisa langsung masuk suargaloka karena dianggap ragu ragu membela kebenaran.

Melalui Gunawan Wibisana, bumi Ngalengka tersinari cahaya ilahi yang dibawa Ramawijaya dengan balatentara jelatanya yaitu pasukan wanara (kera). Peperangan dalam Ramayana bukan perebutan wanita berwujud cinta namun pertempuran demi pertempuran menegakkan kesetiaan pada kebenaran yang sejati.

(dr blog tetangga https://kariyan.wordpress.com/2010/03/02/rahasia-serat-sastra-jendra-hayuningrat/)

October 10, 2011

Menunggu

Maka aku akan menunggu selamanya..
Meski saat itu tak kan pernah datang sepanjang umurku

Setidaknya aku tak kan menyesal,
Karena aku tlah tak lelah menunggu tanpa ingin waktunya tiba...

Bukan aku atau kamu yang memutuskan batas waktunya..
Bila kita.. segalanya tak kan teruji lagi..
Bila kita.. kan ada kehancuran

Jalan pikiran kita bukan jalan pikiranNYA
Sejauh bumi dari langit

Biarlah aku menunggu tanpa ingin saatnya tiba...
Biarlah aku menunggu tanpa mengharap datang waktunya...
Aku hanya menunggu dalam hikmat... karena aku mengagungkan DIA...
Bila jagadpun tlah habis masanya, dan saat itupun tak juga tiba...
Aku berjanji akan tetap bahagia...
Setidaknya jiwaku tak dirundung duka
pun tak dirundung penyesalan..
aku tlah menunggu dengan setulus hati.

Sperti buah simalakama...
hanya petaka bagi smua diluar narasiNYA..
DIA kan beri petunjuk sebagaimana DIA adalah sutradaranya..

Biarlah tetap teruji...
Biar aku dan kamu menyadari...
Bahwa smua ini abadi...
Bahwa smua ini benar-benar asli...
Aku menunggu
Tak lelah
Tak padam
Astungkara..

October 4, 2011

Jika Cinta...

Jika cinta jadi renta karena jarak... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena waktu... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena kata... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena harta... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena prasangka... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena hasrat seksual... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena keinginan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena kesehatan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena persahabatan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena keluarga... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena lingkungan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena kebutuhan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena kebebasan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena keterikatan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena tanggung jawab... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena beban hidup... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena masa lalu... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena kesibukan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena jalan pikiran... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena kepemilikan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena kepercayaan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena perbedaan... brarti itu bukan cinta
Jika cinta jadi renta karena keadaan... brarti itu bukan cinta

Saat kau benar-benar mencintai... yang ada hanyalah antara kau dan keheningan
Hanyalah hasrat untuk memberi tanpa dia harus menyadari yang tlah kauberikan
Hanyalah perasaan yang mendalam tanpa perlu dia tau apa yang kaurasakan
Hanyalah kepasrahan untuk disakiti dan dikecewakan
Kerelaan memendam segala kelemahan dan kesalahan
Kekuatan mewarna dan menghias takdir

Kau hanya harus diam saat tersayat pedangnya yang tajam
Kau hanya harus sabar dan tersenyum atas duka cita yang mungkin dia lemparkan

Kutukan adalah Eros dan Filia
tapi demi tuhan aku mengenal Agape...