January 6, 2013

Siwaratri



SIWARATRI
Sehari sebelum Tilem sasih Kapitu atau yang sering di sebut prawaning tilem kapitu, umat hindu memperingati Hari Siwaratri. Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Siwarâtri juga disebut hari suci pajagran, yang jatuh pada hari Catur Dasi Krsna paksa bulan Magha (panglong ping 14 sasih Kapitu).

Hakekat hari suci Siwaratri adalah sebagai media introsfeksi diri untuk senantiasa mawas diri serta menyadari akan Sang Diri Sejati (Gede Manik, S.Ag:WHD. No. 492,2008). Siwaratri merupakan perenungan diri sehingga dapat meminimalkan perbuatan dosa dalam kehidupan sehari-hari. Adalah tanpa makna jika merayakan Siwaratri justru yang diperoleh hanya kantuk dan lapar yang sangat menyiksa. (Gede Manik, Loc.Cit).
Perayaan Siwa Ratri bersumberkan pada beberapa literatur Hindu seperti Shiwa Purana, Skanda Purana, Kakawin Siwa Ratri Kalpa dan lain sebagainya, dan bahkan terdapat sumber dari Eropa.

Di Indonesia bersumberkan pada Kakawin Siwaratri Kalpa. Kisah yang sudah tidak asing bagi umat Hindu adalah kisah Sang Lubdaka. Dikisahkan seorang pemburu profesional bernama Lubdaka, tetapi karena bernasib sial, pada suatu hari Ia tidak menemukan satu ekorpun buruan yang Ia cari seharian, hingga akhirnya Sang Lubdaka menginap di hutan. Karena takut dengan binatang buas, ia berbaring pada batang pohon Bilva/Maja (pohon kesayangan Tuhan Shiwa).
Untuk menghilangkan kantuknya Sang Lubdaka memetik daun Bilwa satu per satu hingga pagi hari. Tanpa disadari daun yang dijatuhkan mengenai Siva Lingga (yaitu sarana memuja Tuhan yang berbentuk Lingga-Yoni). Setelah pagi hari Lubdaka pulang ke rumah tanpa membawa buruan.

Hingga suatu hari Sang Lubdaka meninggal, meski sang pemburu ini sebagai pembunuh binatang ternyata arwahnya ketika disiksa dan diseret ke Neraka oleh Yama Duta (pengawal Bhatara Yama), tetapi tidak diizinkan untuk dibawa ke neraka namun justru dibawa ke Siwa Loka (surga) oleh para Gana (pengawal Bhatara Shiwa) atas perintah Bhatara Shiwa. Karena ternyata Tuhan berkenan pada Lundaka, sebab ia pernah memuja beliau disaat malam Siwa (Siwa Ratri).

Untuk mendukung kisah Lubdaka, orang yang jahat memperoleh surga. Didalam Bhagavad Gita disebutkan bahwa “Meskipun seseorang melakukan perbuatan yang paling jijik, kalau ia tekun dalam bhakti, ia harus diakui sebagai orang suci karena ia mantap dalam ketabahan hatinya dengan cara yang benar. Dalam waktu yang singkat ia menjadi saleh dan mencapai kedamaian yang abadi. Wahai putera Kunti, nyatakanlah dengan berani bahwa penyembah-Ku tidak akan pernah binasa. Wahai putera Prtha, orang yang berlindung kepada-Ku, walaupun mereka dilahirkan dalam keadaan yang lebih rendah, atau wanita, vaisya [pedagang] dan sudra [buruh] semua dapat mencapai tujuan tertinggi” (Bhagavad Gita 9.30-32)
Dari kisah itu sebenarnya bahwa kita diajarkan untuk membantai musuh dalam diri (Sad Ripu/enam musuh dalam diri) dan memburu Tuhan hingga ke hutan (keheningan) dan tentunya dengan memuja Tuhan dengan mengidungkan nama suci Tuhan yaitu “Om Namah Shiwa Ya” dalam mendaki tangga spiritual. Binatang buas yang dimaksudkan adalah dunia material yang selalu hadir dalam kehidupan kita, sehingga kita harus mawas diri agar kita tidak terjebak oleh tujuh sifat kegelapan (Sapta Timira)

BRATA SIWARATRI
Hari suci Tilem datangnya tiap bulan, tapi mengapa tilem Kepitu mempunyai keistimewaan tersendiri. Untuk itu mari kita simak keutamaan brata Siwaratri yang tercantum dalam “Padma Purana” dituangkan dalam percakapan antara seorang Maha Rsi, yaitu Wasistha dengan seorang Raja yang bernama Dilipa. Kutipannya sebagai berikut :
“Dengarkanlah Paduka, saya akan menjelaskan kepada Anda tentang Brata Malam Siwa yang sangat utama, satu-satunya sarana untuk mencapai Siwaloka. Hari keempat belas paruh gelap bulan Magha atau Palguna, patut diketahui sebagai Malam Siwa (Siwaratri), yang menghapuskan segala papa.

Anugerah itu paduka, tidak didapatkan dengan tapa, dana, japa, semadhi, tidak juga dengan upacara dan sebagainya. Brata Malam Siwa paduka, adalah yang paling utama diantara segala brata, bagi Meru diantara Gunung, Matahari diantara segala yang bercahaya, Pertapa diantara mahluk berkaki dua, dan Kapila diantara mahluk berkaki empat, Gayatri diantara mantra, Amerta diantara segala yang cair, Wisnu diantara laki-laki dan Arundhati diantara wanita”.

Banyak kalangan yang kurang setuju, jikalau malam Siwaratri sebagai malam penebusan dosa. Karena kepercayaan Hindu, hukum karma itu tidak pandang bulu. Meskipun orang suci, jika berbuat salah tetap akan mendapat hukuman. Reaksi dari perbuatan itu sulit untuk dihapus, maka dari itu ada beberapa pakar yang menyatakan tidak setuju jika malam Siwaratri diistilahkan sebagai malam peleburan dosa.

Umumnya Siwaratri dilaksanakan dengan laku brata : Mona Brata (pengendalian dalam kata-kata). Mona brata sering diistilahkan dengan tidak mengucapkan kata-kata sepatahpun. Sehingga hal seperti ini bisa menimbulkan kesalah-pahaman. Karena jika seorang teman sedang bertandang kerumah dan menyapa atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut, menyebabkan orang menjadi tersinggung. Maunya melakukan tapa mona brata, justru malah melakukan himsa karma, karena membuat orang lain menjadi jengkel dan sakti hati. Kalaupun punya niat tapa brata semacam itu, sebaiknya pergi ke hutan atau ketempat yang sunyi, jauh dari keramaian.

Upawasa yaitu pengendalian dalam hal makan dan minum. Jadi disini ditekankan tidak diharuskan untuk berpuasa/tidak makan dan minum semalam suntuk. Melainkan pengendalian dalam hal makan dan minum. Umat dibebaskan untuk melaksanakan bratanya, mau puasa ya silahkan, tidakpun tidak apa-apa. Hanya saja brata itu berlaku untuk seterusnya.

Jagra yaitu pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam suntuk hingga menjelang pagi disertai melakukan pemujaan kepada Siwa sebagai pelebur kepapaan. Jadi pada malam Siwaratri itu yang terpenting adalah begadang demi dia (Siwa). Bukan begadang main gaple atau nonton TV. Pada keesokan harinya melaksanakan Darma Santhi, pergi saling menungjungi kerumah sahabat, handai toland sambil bermaaf-maafan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Malam Siwaratri bukanlah malam peleburan dosa, melainkan peleburan kepapaan dari kelemahan sifat-sifat manusia. Semua manusia memiliki kepapaan, karena dibelengu oleh nafsu-nafsu indrianya/raganya.

Itulah sebabnya sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri pada Tilem Kepitu yaitu sehari menjelang Tilem Kepitu. Yang tujuannya semata-mata untuk mengurangi kepapaan dari nafsu-nafsu indria yang dimiliki oleh umat manusia.

Terutama sekali yang berupa 7 (tujuh) kegelapan yang disebut dengan Sapta Timira (tujuh macam kemabukan). Diantaranya adalah, Surupa (mabuk karena rupawan/rupa tampan atau cantik), Dhana (mabuk karena kekayaan), Guna (mabuk karena kepandaian), Kasuran (mabuk karena kemegahan), kulina (mabuk karena keturunan bangsawan), Yowana (mabuk karena keremajaan), Sura (mabuk karena minuman keras).

Ternyata bukan minuman keras saja yang menyebabkan seseorang menjadi mabuk, melainkan juga ke enam keberuntungan itu. Jika tidak hati-hati membawa dan menjaga keberuntungan itu, justru membuat seseorang menjadi sombong dan terjerumuslah dia kedalam kegelapan.

Makna hari suci Siwaratri adalah untuk menyadari bahwa seseorang berada dalam pengaruh kegelapan. Kegelapan itulah yang harus diterangi, baik jiwa, pikiran maupun badan jasmaninya. Kegelapan itu harus disingkirkan dengan ilmu pengetahuan rohani.

Yang paling penting sekali adalah berkat dari Sang Hyang Siwa sendiri. Beliaulah yang akan menghapus kepapaan, ketidak berdayaan melawan hawa nafsunya sendiri. Mungkin ribuan orang akan menyoraki dan mencaci maki seorang penjahat yang mendapat hukuman. Bahkan pula dilempari dengan batu. Namun beliau (Sang Hyang Sada Siwa) menangis melihat umat-Nya dalam kesengsaraan. Beliau tidak membenci malah lebih bersimpati pada mereka yang mengalami nasib buruk seperti itu.

Itulah keutamaan beliau, tidak membenci siapapun, walaupun penjahat kelas kakap yang dibenci jutaan manusia. Beliau tetap berbelas kasih. Bersedia mengampuni, asal umat-Nya dengan tulus iklas berserah diri, pasrah total kehadapan-Nya.

Beliau sendiri yang akan mebimbing dan memutuskan keadilan-Nya. Maka sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri ini kepada siapa saja. Karena pintu tobat dan pengampunan pada hari itu terbuka lebar-lebar.

January 2, 2013

duh Gusti

Hong namo Syiwaya. Hong sembah ning anatha. Tinghalana de triloka sarana. Wahya dyatmika sembahing hulun ijeng ta tan hana waneh. Sang lwir agni sakeng tahen kadi minyak sakeng dadhi kita. Sang saksat metu yan hana wwang hamuter tutur pinahayu.

Wyapi-wyapaka sarining paramatattwa durlabha kita. Icantang hana tan hana ganal alit lawan hala-hayu. Utpatti sthiti lina ning dadi kita ta karananika. Sang sangkan paraning sarat sakala-niskalatmaka kita.

December 9, 2012

Karma

Aku menangkap dari sepenggal cerita hidup anak manusia
...
tentang Karma
bahwa diapun tetap menghampiri
saat anak manusia menghindari satu Karma
karena kecemasan atas Karma lainnya
...
sepertinya hanya Hyang Widhi yang memegang kunci pengetahuan benar dan salah
bahkan seorang brahmana atau yogi yang berpengetahuan spiritual tinggipun hampa tentangNya...
...
bagi aku dan dia
Dunia ini seperti ilusi dalam kabut asap
berusaha turuti karma
tapi jadinya kami justru mengelak dari karma
..alasannya adalah karma-karma yang lain
..lalu kamipun dihukum karma
karena kami enggan mencari tahu
memahami tugas-tugas baru
...
kami terlalu takut..
karena daging kami begitu lemah
kami terpaku pada tugas pertama
yang kami sangka itu satu-satunya
...
bagiMU hidup penuh dengan dinamika
bagiMU kami serpihan cahayaMU
...
Hyang Widhi
panahMU selalu tau arahnya
Karma baik maupun buruk
tak sekalipun salah sasaran...
seperti mata Sang Shiva
yang menembus segala batas kelemahan...
kami pasrah dan tunduk dalam kehendakMU
...
Setidaknya
beri aku kemampuan dan ketegaran
melaksanakan perutusanMU
jangan sampai jiwa-jiwa yang KAU percayakan padaku,
kulewatkan begitu saja
karena ketidak mauanku
ataupun kebodohanku...
jaga saja aku tetap setia dijalanMU
dalam melaksanakan Karmaku
belajar memberi kasih sayang dan kebijakan
yang akan memperkaya diriku juga...
jangan ada hati yang merasa tersia-siakan
jangan ada satupun jatuh dalam kebencian
saat mereka mengarahkan hatinya padaku
ijinkan aku membawa kebijaksanaan
tanpa menorehkan luka yang mendalam

apa yang terjadi padaku
tak kan terjadi pada yang lain
bila itu karena aku...

"Out beyond ideas of wrong doing and right doing, there is a field. I'll meet you there"
(RUMI)

December 8, 2012

Lebih

semua hal yang diijinkan Tuhan terjadi dalam hidup ku..
pastilah karena aku mampu melampauinya

ku tak ingin menyebut
apa aku sakit
apa aku kecewa
apa aku lega
apa aku pasrah

karena aku tidak tahu

baru kali ini
aku benar-benar tak tahu apa rasa ini

dan memang lebih baik tak pernah tau

bila ku tahu
ku salahkan diriku
dan kusalahkan mereka

lebih baik begini
tak ada air mata
pun' tak perlu senyuman

mungkin ku hanya perlu tertidur
dan saat bangun nanti
aku sudah jadi seseorang yang lebih

*ku tak lagi menunggu kura-kuraku, Hyang Widhi memindahkannya keluar dari bumiku demi kebahagiaanku


November 8, 2012

Makna Filosofis 'Bija'

oleh : Budi Agung

Mawija atau mabija dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir dan suatu upacara persembahyangan, kita akan dibagikan butiran-butiran beras yang kita tempelkan di kening dan di leher yang disebut bija. Bija atau disebut dengan wija adalah komponen penting yang terdapat pada canang. Suatu hal sesederhana memakai bija pun sesungguhnya memiliki makna yang luas dalam ajaran Veda. Bija pada umumnya adalah beras yang dicuci dengan air bersih lalu direndam dalam air cendana, kemudian diberi pewarna (biasanya menggunaka kunyit - Curcuma Domestica VAL) agar berwarna kuning maka disebutlah bija kuning. 

Dalam perkembangannya, terkadang bija hanya dibuat dengan beras yang dicuci dengan air bersih saja. Pemakaian bija dilakukan setelah menerima tirtha atau amertha pada akhir proses persembahyangan. Pada kenyataanya, setiap umat Hindu di Indonesia mempunyai cara sendiri alam menggunakan bija. Wija atau bija diusahakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata). 

Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakikatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuhkembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka itu mewija dilakukan setelah mathirta. 

Dalam diri manusia terdapat sifat kedewataan dan sifat keraksasaan yang disebut Daiwi-sampat dan Asuri-sampat. Menumbuh-kembangkan benih ke-Siwa-an berarti menumbuhkembangkan sifat kedewataan tersebut agar dapat mengatasi sifat keraksasaan. Kedua sifat itu bersemayam dalam pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan berkembangnya sifat kedewataan atau benih ke-Siwa-an itu dalam pikiran dari hati manusia maka tempat memuja itu yang terpenting di dua tempat, yaitu: pada pikiran dari hati itu sendiri, masing-masing dengan cara menempelkan di tengah-tengah kedua kening dan dengan menelannya. Patut pula diingat bahwa wija di samping sebagai lambang Kumara, juga sebagai sarana persembahan. 

Agaknya perlu juga dikemukakan di sini bahwa wija/bija tidak sama dengan bhasma. Kadangkala antara wija/bija dan bhasma itu pengertiannya rancu. Wija tersebut dari beras sedangkan bhasma terbuat dari serbuk cendana yang sangat halus. Serbuk ini diperoleh dengan menggosok-gosokkan kayu cendana yang dibubuhi air di atas sebuah periuk atau dulang dari tanah liat. Kemudian hasil gosokan (asaban) itu diendapkan. Inilah bahan bhasma. Kata bhasma sendiri secara harfiah berarti abu atau serbuk. 

Kata "bhas" dalam kata bhasma tidak sama dengan kata baas dalam bahasa Bali yang berarti beras. Karena kata Bhasma adalah kata dalam bahasa Sansekerta. Pemakaiannyapun berbeda. Kalau wija umumnya dipakai oleh orang yang masih berstatus walaka, sedangkan bhasma hanya dipakai oleh Sulinggih yang berstatus sebagai anak lingsir. 

Kata wija berdekatan artinya dengan kata Walaka dan Kumara yang berarti biji benih atau putera. Bhasma dalam hal ini adalah lambang Sunya atau Siwa. 

Dengan pemakaian bhasma itu Sulinggih bersangkutan menjadikan dirinya Siwa (Siwa Bhasma), disamping sebagai sarana untuk menyucikan dirinya (Bhasma sesa). 

Pada kenyataanya, setiap umat Hindu di Indonesia mempunyai cara sendiri dalam menggunakan bija. Penempatan bija pada tubuh setiap orang berbeda-beda. Berikut adalah tempat pemakaian bija beserta beragam macam maknanya: 
• Di ubun-ubun: untuk menguatkan atma 
• Di dahi atau sela-sela alis: untuk memuja Siwa (trinetra) 
• Di pangkal tenggorokan: untuk menguatkan kundalini (tujuh cakra di dalam tubuh) 
• Di pangkal leher belakang: untuk menolak bahaya 
• Di daun telinga bawah kiri-kanan: untuk mengendalikan panca indra 
Tidak hanya di kening dan leher, bahkan banyak orang yang juga memakai bija di atas kepala, di bahu, di balik telinga, bahkan tidak jarang ada yang memakainya di kedua pelipis.

Keberadaan bija sangat erat dengan kegiatan beragama Hindu. Bija adalah salah satu bahan yang dipakai di kening ketika seorang Hindu selesai melakukan persembahyangan. Ada bahan-bahan lain yang disebut bhasma, yang terbuat dari pasta cendana. Bahan-bahan ini dipercaya sebagai bahan yang suci sebagai lambang Tuhan. Bija juga disebut tilaka di tempat lain dengan bahan-bahan seperti abu agnihotra dan pasta merah. 

Bija memiliki beberapa makna filosofis yang dikaitkan dengan spiritualisme. 
1. kita lihat dari asal katanya. Bija berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang diadopsi dari kata vija (Sanskrit). Vija dapat dikaitkan dengan kata (pranava) Om sebagai nama utama dari Tuhan. Om juga disebut vijaksara, sebagai aksara Brahman yang tertinggi. Om adalah nama Tuhan yang paling sakral dan memiliki makna yang tidak terbatas. Memakai bija di kening berarti memuja Tuhan dalam wujud Omkara. Hal ini juga berarti konsentrasi pikiran menuju kesempurnaan Tuhan. Orang yang memakai bija (tilaka) diharapkan dapat mewujudan perilaku sattvika, pengasih, dan bijaksana. Demikianlah makna kata bija yaitu sebagai kata lain dari Omkara. 
2. bija memiliki makna anatomis. Dalam Siva Samhita ditemukan sloka-sloka tentang tujuh cakra (simpul syaraf) utama yang membujur di sepanjang tulang belakang. Ketujuh cakra itu memengaruhi fungsi biologis dan fisiologis tubuh. Salah satu cakra adalah cakra Ajna (baca: adnya) yang terletak di kedua alis. Cakra ajna memiliki daun bunga dua yang dalam masing-masing kelopaknya bertuliskan aksara vam dan ksam. Siva Samhita juga menyatakan bahwa cakra ini adalah petemuan tiga pembuluh, yaitu ida, pinggala, dan susumna. Pertemuan ketiganya ini disebut Triveni. Pembuluh ida (pembuluh bulan) yang dingin mengalir dari bagian kanan cakra ajna dan berbelok menuju lubang hidung sebelah kiri, semantara pinggala (pembuluh matahari) yang hangat mengalir dari bagian kiri ajna dan berbelok ke lubang hidung kanan. Ida membawa hawa dingin dan aktif pada malam hari, sedangkan pinggala membawa hawa panas yang aktif pada siang hari. Oleh sebab itu, seseorang yang sehat akan menghembuskan udara yang agak hangat dari lubang hidung kanannya, sementara dari lubang hidung kirinya akan terhembus udara yang agak dingin. Pembuluh ketiga yaitu susumna adalah jalan keluar-masuk roh. Dalam kaitannya dengan pemakaian bija di kening, kita diharapkan mampu mengaktifkan energi dari ketiga pembuluh tersebut untuk menciptakan kesehatan yang baik. Apalagi jika seseorang mampu berkonsentrasi pada ajna, makhluk-makhluk seperti yaksa, gandharva, kinnara, dan apsara akan mematuhi perintahnya (Siva Samhita 113).
3. bija memiliki makna benih. Bija terbuat dari beras yang seharusnya lonjong sempurna, bukan butiran-butiran yang terpecah-pecah seperti yang sering kita temui. Beras yang bentuknya sempurna melambangkan lingga, stana Siva Mahadeva. Selain itu, beras yang bentuknya sempurna juga melambangkan alam semesta yang juga berbentuk bulat. Bija adalah benih padi yang berwarna putih yang bermakna hendaknya kita menumbuhkan benih-benih kesucian dalam kehidupan. Kini banyak kita lihat orang-orang yang memakai bija tetapi tidak mampu menumbuhkan benih-benih kesucian dalam dirinya. Apabila semua orang dapat menumbuhkan kesucian dalam dirinya, semua akan dapat memanen hasilnya yaitu padi keharmonisan. 
4. bija memiliki makna kesungguhan dan kesadaran karena seseorang yang memakai bija berarti orang yang seharusnya memiliki keyakinan dan kesadaran akan kewajibannya untuk mendekatkan diri ke hadapan Tuhan. Orang yang memakai bija akan merasakan bahwa Tuhan berstana dalam dirinya sebagai Paramatman dan merasa terlindungi. Ia juga akan merasakan bahwa Tuhan berada dalam setiap makhluk hidup, termasuk kuman-kuman, bakteri, tumbuhan, dan hewan. Dengan demikian, ia akan belajar untuk menghormati eksistensi makhluk lain sebagai bagian dari kekuasaan Tuhan. 

Adapun tempat pemakaian bija dan makna yang berbeda sebagai berikut:
• Bija yang diletakkan di kening memiliki makna supaya dengan prasadam yang diberikan oleh Tuhan tujuannya untuk menimbulkan benih-benih ide yang cemerlang serta membuat pikiran kita terfokus pada hal-hal yang suci, doa yang di gunakan saat menaruh bija di kening adalah Om Shriyam Bawanthu, yang artinya semoga cerdas atas anugerah Hyang Widhi. 
• Bija yang diletakkan pada dada dimaksudkan agar di dada senantiasa bersemayam kesucian pribadi dan untuk melapangkan hati doa yang di ucapkan pada saat meletakkan bija di dada adalah Om Sukham Bhawanthu, yang artinya semoga mendapatkan kebahagiaan atas anugerah Hyang Widhi. 
• Bija yang ditelan kedalam mulut bermakna bahwa kita menanam benih-benih kesucian dalam diri, selain itu juga untuk memperoleh anugrah kemakmuran, doa yang diucapkan pada saat menelan bija itu adalah Om Purnam Bhawanthu, Om ksama sampurna ya namah swaha, yang artinya semoga mendapat kesempurnaan dan pengampunan dari Hyang Widhi. 

Demikianlah makna filosofis dari bija. Banyak yang tidak menyadari hal-hal kecil seperti ini dan menjadikan agama sendiri sebagai bahan olok-olok yang lainnya sebagai agama tahayul. Padahal sebenarnya peradaban Hindu dan Veda bukan hanya sebuah agama tua yang komplit, melainkan juga sebuah jalan pengetahuan tiada batas.