May 3, 2012

Pagi untuk Semesta (flashfiction3)

Hari masih subuh, kira-kira pukul setengah lima pagi..
Luhde beranjak dari dari ranjangnya, rasanya sudah seabad tidur malamnya... Sejak pukul tiga dini hari dia hanya menunggu jam untuk terasa nyaman keluar dari kamarnya, rasanya sudah terlalu lelah melanjutkan tidurnya...

Membuka seluruh tirai jendela... seperti biasa pekarangan depan rumah menjadi tujuannya...
Luhde mulai mengamati apakah setiap tanaman masih cukup lembab mendapat air dari embun dan gerimis semalam...
Dari sekian jenis daun dan bunga di pekarangan mungilnya, entah kenapa bunga-bunga kamboja yang berjatuhan ditanah selalu mencuri perhatiannya...
selalu ada rasa pilu dan haru melihatnya...
Dipungutinya bunga-bunga yang layu kering itu bersama daun-daun yang berjatuhan, dan dengan berat hati dibuangnya ke sampah...
Haru...
Sebenarnya bunga-bunga yang jatuh itu begitu penuh makna...
bagi Luhde, bunga yang jatuh itu selalu mengingatkannya untuk ber-Trisandya di pagi hari atau Pratasewana...
Seandainya saja bunga-bunga itu tak berguguran, mungkin begitu saja terlewatkan dari perhatian... karena bunga itu tumbuh jauh diujung atas ranting... tak kan dapatkan perhatian dari hati dan pikiran yang kalut dalam kesibukan dan kebisingan...

Bergegas Luhde menuju ke teras balkon atas rumah, kebetulan balkon itu menghadap ke Timur, dibersihkannya tempat itu cepat-cepat... sudut ruang yang selalu dipakainya untuk menyambut Sang Surya... sudut yang terasa sempurna baginya...
Diliriknya ujung cakrawala di depannya... warna merah mulai bersemburat, setelah mandi dan membersihkan diri... Kembalilah Luh kepada pohon kambojanya di bawah... Dengan mengucap ijin dalam hatinya kepada pohon itu, Luh perlahan menggoyangkan dahannya, mengharap sekuntum bunga jatuh tuk dipersembahkan dalam sembahyang paginya...

Terasa sulit memang untuk mendapatkan atau membuat sebuah canang sari yang lengkap saat berada jauh dari pulau Dewata... tapi tak apa... menurut Bhagawan Guru... sekuntum bunga dan sebuah dupa pun sudah pantas... yang terpenting adalah hati yang ikhlas dan penuh cinta..
Berbekal sekuntum bunga dan sebuah dupa beraroma bunga teratai favoritnya.. Luh menuju tempat pemujaannya pada Sang Penciptanya...

Melilitkan kain kamen yang dingin dan nyaman pada tubuh bagian bawahnya dan melilitkan sebuah selendang dipinggangnya...
Seperti biasa... devosinya dimulai dengan bermeditasi...

Mengambil sikap duduk bajrasana.. dipejamkannya matanya.. mengatur dan mulai menyadari nafasnya..

Luh mencari titik heningnya...
memusatkan pikir pada cakra adnya, dan menyalakan kobaran cahaya cinta kasih pada semesta di anahata cakranya...
.... tak semudah para yogi melakukannya...
justru semua hal menjadi muncul dan tumpah dalam pikirannya... Gelembung-gelembung sabun berisi problematika mulai memenuhi dimensinya...
Tentu saja gelembung sabun ini harus ditepuk satu persatu hingga seluruhnya berlalu...
supaya hati dan pikirnya hanya untuk Sang Pencipta...
Luh punya cara untuk membebaskan dirinya dari serangan gelembung sabun di sekitar kepalanya itu...
Bukan memaksanya untuk lenyap begitu saja...
Tapi memberikan fokus pada masing-masing gelembung itu... mengembalikan keterbatasannya pada Sang Hyang Widhi... memaknai setiap gelembungnya dan kemudian pasrah dan ikhlas menerima setiap gelembung itu menjadi bagian dalam dirinya...
Lalu mengajak mereka semua untuk ikut memujaNya...
dalam satu raga, satu jiwa, satu kesatuan dengan empat saudara tak berwujud, satu fokus...
yaitu Luh sendiri...

Seperti harus melewati semak berduri, proses ini harus dilalui....

Luh masing berjuang mengatur irama nafasnya...
Hening yang terasa lama... Detik-detik yang terasa abadi...
Bertarungkah ia dengan dirinya...?
Terlihat air mata mengalir dipipinya... lambang kelemahannya? ataukah justru kekuatannya?

Semakin lama air mata itu mereda... Cahaya hangat dari ufuk Timur mulai menghangatkan wajahnya... ada senyum mungil di sudut bibirnya.. tak berapa lama nampaklah rona kemenangan pada cahaya mukanya.. kehalusan ritme nafasnya menyapa pagi dan Sang Surya... lalu terdengarlah bait-bait merdu mantra Trisandya dari bibirnya...
Luh telah memilih pasrah kepadaNya...

Selamat pagi Semesta! Apa kabar pahatan kura-kura Bangli-ku..
hasil karya tanganku...
Tlah sekali lagi Buana ini mengitari matahari...
Seandainya tlah ada yang menemukannya... Gantungkanlah kembali di pohon peneduhku..
Tapi bila seseorang yang menemukannya pun menginginkannya.. semoga jadi berarti sebagaimana aku penuh memaknainya...