June 24, 2011

Perempuan dan kebahagiaan

Itulah kenapa aku harus bahagia
seperti kamu berbahagia

perempuan..
pernahkah kau menginginkan sebuah gaun yang begitu indah
tapi gaun itu tak lagi indah saat kau telah memilikinya..
semua tetap akan seperti itu sampai bumi ini runtuh
haruskah kita tak bahagia.. karena dia tak berhenti berlari

Bahagia itu harus dipaksa
dimunculkan dari dalam hati
it’s ok... tak selalu begitu

Tak semua kata hati boleh dipenuhi
tak semua keinginan benar dituruti
it’s ok... tak mutlak juga begitu

Nurani tak pernah salah
tapi kebijaksanaan adalah penghadang
mereka berdiri di ujung yang berlawanan
okelah... tak selamanya seperti itu

senyuman manja, mata bercahaya, kata-kata lembut nan sayu
.....
didalamnya penuh beban tak terdefinisi dan tak mungkin dibagi
perih hati dan air mata adalah sahabat sekaligus pasangan jiwanya
itulah wajahmu... perempuan

tiap butir bahagia dilepaskan asalkan sang curahan hati terselamatkan
benih ketenangan dikorbankan asalkan sang mentari dapatkan kedamaian

perempuan... siapkan lagi hatimu
toh kekecewaan adalah nafasmu
kesedihan adalah darahmu
masukkan saja ke panci lalu dibumbui
kita masak sendiri kebahagiaan itu

biarlah tak termiliki
biarkan tetap indah
disitulah bahagia sejatimu kau dapatkan

Astungkara
Dominus Vobiscum

June 22, 2011

Kura-kura Bangli (Flashfiction2)


“Luh...”
“Ya Pak Yan... “, Luhde menjawab panggilan lembut Pak Wayan, ayah angkatnya yang dulu menemukannya dalam kondisi mental yang hampir rubuh. Pak Wayanlah yang membimbing Luhde menemukan semangat dirinya lagi setelah suatu peristiwa yang menghempasnya dari kesadaran.

“sedang apa Luh? Sudah mulai gelap... sebaiknya kaulanjutkan di dalam semua keasyikanmu itu, hari ini anginnya kencang, sepertinya lampunya juga perlu diganti.... redup sekali disini?” ujar Pak Wayan sambil melongokkan separuh badannya ke teras melalui jendela ukiran kayu di ruang tamu.

“iya.. sebentar lagi Pak Yan... tadi pagi Bli Nyoman mengajariku membuat patung... aku penasaran, sepertinya gampang dan menyenangkan... aku harus bisa buat mahakarya seperti Bli...” Luhde menjawab sambil senyum-senyum sendiri melihat seonggok kayu albesia di genggamannya... badannya tak bergeming tetap terduduk di lantai abu-abu teras yang mulai terasa dingin di kakinya.

“memangnya apa yang kaubuat?... patung kodok ya?” gurau pak Yan

“hahaha... sebenarnya ini kura-kura... tapi kalau kelihatan seperti kodok ya lumayanlah” celetuk Luhde sambil tetap asik dengan alat pahatnya.

---o0o---

Dua tahun telah beranjak sejak waktu itu, Luhde telah kembali khusuk dalam kehidupan Metropolitan... desa Susut Bangli dan Pak Wayan tampaknya sudah jauh dibelakang. Patung kayu kura-kura nan mungil ditinggalkan tergantung pada pohon beringin di dekat Pura keluarga, disamping rumah sederhana Pak Yan.
Sejak meninggalkan rumah Pak Yan dua tahun lalu, Luhde menitipkan patung kura-kura mungilnya pada Pak Yan... waktu itu Luhde berpesan “Pak Yan, kura-kura ini lambang semangat dan kesadaran saya... kalau tidak ada kura-kura ini jiwa saya hampa, semangat saya kering, saya tak punya cinta lagi untuk dicurahkan... saya titipkan disini saja, kelak kesinilah saya akan pulang”, dan waktu itu Pak Yan hanya menjawab dengan senyuman penuh kasih sayang.

Sejak hari itu semangat Luhde berkobar-kobar, kura-kura yang dibuatnya dengan jiwa itu adalah curahan hatinya, kura-kura itu menjadi sugestinya untuk mencapai ketenangan dan kepenuhan batinnya. Setiap bulan Luhde menyempatkan menelpon pak Wayan menanyakan kura-kuranya. Jawaban Pak Wayan selama dua tahun ini hampir selalu sama... kata beliau “Luh, kura-kuramu baik-baik saja dan semakin hari tampak semakin indah...”

Seperti biasa di suatu sore, ditengah keruwetan pekerjaan Luhde di perusahaan konstruksi di Metropolitan, kadang hatinya lelah, pikirannya penat menghadapi manusia-manusia penuh konflik dan kepentingan.. satu hal yang mungkin bisa menghiburnya... diraihnya telepon dari dalam tasnya...
“Om Swatiastu Pak Yan....”
“Om Swastiastu Luhde... apa khabarmu?”, sambut pak Yan diseberang telepon
“Baik pak Yan... apa kabar Komang dan ibu... sehat semua kan?” balas Luhde
“Semua baik Luh termasuk kura-kuramu... Komang naik kelas 4 nilainya lumayan bagus, pekerjaanmu lancar Luh?” tanya Pak Yan.
“hahaha Pak Yan tau saja saya mau tanyakan si kura-kura... masalah pekerjaan ya beginilah Pak Yan, saya hanya jalani dengan tenang, berusaha melepaskan jauh-jauh segala kekhawatiran... saya dapat semangat ekstra dari si kura-kura... rasanya pahatan kura-kura itu jadi jetpump menghempaskan energi Sang Hyang Widhi ke tubuh dan jiwaku”
“Baik sekali kalau Luhde bisa menjaga kesadaran dan ketenangan, pertahankan... sang Hyang Widhi tak pernah putus mengirimmu kekuatan... percayalah seperti itu.. kapan Luhde pulang ke Bangli... ibumu dan Komang sudah kangen... nasi campur juga sudah menunggu...? kata Pak Yan dibarengi tawanya yang renyah..
“Akhir bulan ini Pak Yan.. tunggu Luhde ya... oke kalo begitu pak Yan, sampe ketemu... Swastiastu..”
“Sampe ketemu Luh, Swastiastu..”

---o0o---

pesawat Garuda Indonesia dengan rute Jakarta-Denpasar mendarat di Ngurah Rai tepat pukul 15.40 WITA. Bli Nyoman keponakan Pak Wayan tampaknya sudah cukup lama menunggu mendaratnya pesawat yang ditumpangi Luhde. Setelah hampir setengah jam menunggu bagasi akhirnya mereka telah berada pada jalur menuju Bangli.. tujuan tepatnya ialah 10 km arah Barat kota Bangli, desa dimana pak Wayan dan keluarga mungilnya tinggal.

Hari sudah petang ketika mobil Bli Nyoman memasuki pelataran rumah Pak Wayan yang terbilang luas. Suara mobil Bli Nyoman tampaknya menghamburkan seisi rumah untuk bergegas keluar menyambut Luhde... Pak Wayan dan istrinya serta si kecil Komang.

Gandengan tangan mungil Komang dan loncatan-loncatannya yang ceria menuntun Luhde menuju teras dan langsung disambut pelukan bu Yan serta tepukan hangat Pak Yan di punggung Luhde.
Sembari melangkah memasuki ruang tamu, tanpa sadar sudut mata Luhde menatap keganjilan di Pura keluarga yang berada di halaman samping rumah... sekejap Luhde berhenti melangkah dan tertegun... dalam kebingungannya Luhde bertanya lirih
“Pak Yan kemana pohon beringinnya?”
Pak Wayan menghela nafas pendek dan akhirnya bercerita, “Luh tiga bulan sejak kepulanganmu dari sini waktu itu, cuaca menjadi kurang baik.. angin kencang dan petir menyambar-nyambar mematahkan sebagian besar ranting pohon beringin... dan demi keamanan akhirnya semua pohon beringin dipotong... lihatlah disana sudah ada pohon beringin yang baru meski masih kecil...”
“kura-kuraku?” sahut Luhde...
Sejenak semua hening.. Pak Yan dan Bu Yan saling bertatapan memendam kebingungan dan kesedihan... akhirnya Bu Yan membuka suara..
“Luhde, kura-kuramu sudah kami cari pada saat kejadian itu, bahkan orang yang membereskan beringin yang tumbang itu pun sudah ikut mencari semua... kura-kuramu tidak ditemukan Luh..”

semua terasa berdengung di telinga Luhde... kata-kata Bu Yan yang agak terbata-bata lenyap dalam kekalutan hatinya... airmatanya mengalir, tangannya mulai dingin gemetar..
“kenapa... kenapa Pak Yan selalu bilang kura-kuraku baik-baik saja”... suara Luhde lirih bergetar
“kura-kuramu memang baik-baik saja di suatu tempat yang kita tidak tahu Luh... percayalah itu.. lihatlah selama ini Luhde semakin kuat dan tenang... Luh.. nyata atau tidak nyata kura-kura itu memang ada di hatimu dan hatimu yang telah sepenuh jiwa membentuk kura-kura itu menjadikan kura-kuramu mengirimkan kekuatan padamu... semua kekuatan itu berasal dari Sang Hyang Widhi, suatu saat kau akan mengerti bahwa hanya dengan memiliki kura-kuramu dalam hati saja itu sudah cukup bisa membuatmu tegar dan dipenuhi energi Ilahi...” jelas Pak Yan dengan tenang.
Luhde kian terisak, dalam isakannya dia berkata.. “Pak Yan... saya belum siap tanpa kura-kura itu..” Pak Wayan kembali menghela nafas sebelum akhirnya berkata lagi “ Luh... selama 1 tahun lebih kura-kura itu sudah tak ada lagi wujudnya, dan Luhde baik-baik saja bukan?.. bahkan jauh lebih baik dari yang sebelumnya... engkau sendirilah yang telah mewujudi patung kura-kuramu... jika hatimu belum siap... teruslah memberi wujud bagi curahan perasaanmu itu, puaskanlah hatimu Luh... Sang Hyang Widhi penuh kasih... pahatan kura-kura itu hanyalah katalis, sebenarnya kekuatan itu telah ada padamu sejak dulu....” Luhde berusaha menghentikan isakannya dan memaksakan diri menenangkan batinnya... “biarkan saya sendirian... saya ingin sembahyang di Pura” lanjut Luhde sambil masih mengusap air matanya...
Tanpa kata-kata lagi Pak Yan, Bu Yan, Bli Nyoman dan Komang yang sedari tadi duduk saja dengan berkaca-kaca masuk ke dalam rumah... mereka menatap haru dan membiarkan Luhde sendirian berjalan gamang menuju Pura.


Jakarta, 22 Juni 2011
Written by: Cicillia Rosari M (Luh Made)

June 6, 2011

Naif

Betapa naifnya aku
selalu pilu mengharu biru
menginjak habis kesadaranku
membuat malu semua Guruku

Harusnya aku tak berhenti bernafas
menghisap dalam-dalam kebahagiaan
menghembuskan kuat-kuat kesesakan

Mengembalikan pikiran pada kesadaran
dan melihat betapa bodohnya semua kecemasan

Astungkara

Cara Terindah

Kadang ingin kutanya padaNya
Dari apa hati ini dibuat?
kenapa tipis seperti kertas? rapuh seperti gelas?

Lalu.. tidakkah mereka diberitahu?,
mengira sekeras baja, setegar menara

pandai besi yang bijaksana menyulutku ke dalam bara
panglima bersahaja menggempurku dengan meriam

s’muanya tak sedikitpun keluar dari ego
tidakkah perlu beristirahat dari hingar bingarnya
sedikit menilik kehidupan lain yang bukan dirinya

mungkin takdirku bila kesedihan adalah darahku
biarkanlah ku sedikit berbagi untukmu
cara terindah meluluh leburkanku

lipat dan robeklah saja tanpa perlu gusar
aku hanyalah selembar kertas
benturkan atau jatuhkan perlahan
sudah pasti...
gelas anggurmu ini hancur berantakan